Presiden Joko Widodo telah memutuskan pengembangan ladang gas Blok Masela memakai skema kilang di darat (onshore). Untuk mendukung pengembangan wilayah tersebut, sebuah kawasan industri terpadu hendak dibangun. Karenanya, pemerintah mengundang pemodal asing untuk berinvestasi di sana.
Tenaga Ahli Bidang Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman Haposan Napitupulu mengatakan rencana ini untuk memberi efek berganda bagi masyarakat Maluku, di mana ladang gas tersebut berada. Misalnya dengan mendirikan industri petrokimia. (Baca: Kemenko Maritim Ancam Inpex Segera Garap Proyek Masela).
Menurut Haposan, bila investor mendirikan pabrik petrokimia di sana akan berkembang pesat. Sebab, pasokan gas -bahan baku utamanya- akan terjamin dari potensi cadangan gas yang mencapai 10,7 triliun kaki kubik (tcf). Namun, kata Haposan, perusahaan Indonesia yang bergerak di industri ini belum memiliki teknologi mumpuni.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan petrokimia perlu membuka pintu bagi investor luar negeri. “Tidak menutup kemungkinan asing masuk,” kata Haposan usai acara Focus Group Discussion dengan Media, di Kantornya, Jakarta, Kamis, 12 Mei 2016. Sebagai catatan, Haposan menekankan investor asing tersebut mesti menggandeng perusahaan lokal atau lebih baik Badan Usaha Milik Negara.
Permasalahan teknologi kerap menjadi hambatan perusahaan Indonesia. Namun, Haposan menilai hal tersebut wajar, misalnya, bila mengacu ke Malaysia yang memiliki kendala sama. Sebagai contoh, Petronas membangun pabrik petrokimia di Kerteh, Malaysia, dengan menggandeng PT Basf. Hal tersebut merupakan ciri khas industri ini, yakni teknologi yang dimiliki masing-masing perusahaan berbeda.
“Lama-lama setelah 30 tahun, misalnya sudah cukup untung, dijual itu ke Petronas. Tapi tetep Petronas bayar paten, kan mesinnya milik Basf,” ujar Haposan. Untuk itu, BUMN Indonesia disarankan melakukan kerja sama serupa. (Baca: Proyek Masela Mundur, Rizal Ramli Minta Inpex Tak Setir Negara).
Karena itu, Haposan menilai wacana pembentukan Pertamina Chemical perlu dihidupkan kembali. Perusahaan pelat merah ini memiliki kemampuan di bidang ini. Adapun keuntungan yang diperoleh akan kembali menjadi milik negara.
Agar semakin menarik minat investor, pemerintah harus memberikan jaminan dalam pembebasan lahan yang kerap menjadi hambatan. “Kenapa di Malaysia, Taiwan, cepet mau datang investor? Karena tidak berurusan lagi dengan tanah dan perizinan. Petronas sudah menyiapkan tanah, kita sebaiknya begitu,” ujar Haposan.
Sebelumnya, Pemerintah menyiapkan beberapa skenario pemanfaatan gas Blok Masela dengan skema pengembangan di darat. Gas tersebut nantinya diolah menjadi gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) dan gas alam terkompresi atau Compressed Natural Gas (CNG), serta untuk industri petrokimia. (Baca: Bentuk Komite, Pemerintah Godok Opsi Pengembangan Masela).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan, skenario pertama adalah masa produksi Blok Masela bisa mencapai 71 tahun dengan catatan 541 juta kaki kubik per hari (mmscfd) gas akan digunakan untuk LNG, 300 mmscfd untuk industri petrokimia, dan 60 mmmscfd CNG. Dengan asumsi harga minyak US$ 60 per barel dan harga gas US$ 6 per mmbtu, tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) bisa mencapai 16,45 persen.
Sementara dalam skenario kedua, masa produksi akan lebih pendek yakni hanya 47 tahun. Penyebabnya, volume gas untuk petrokimia dinaikkan menjadi 700 mmscfd, sementara alokasi untuk industri lain masih sama dengan skenario pertama. Dengan asumsi harga migas sama dengan skenario pertama, IRR masa produksi 47 tahun akan lebih besar yakni 21,42 persen. (Baca: SKK Migas: Inpex Akan Ajukan Revisi PoD Masela di 2019).