KATADATA - Infrastruktur tetap menjadi faktor penting pertumbuhan dalam negeri, termasuk bila ingin mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Sarana sektor maritim, seperti pelabuhan, mesti memadai. Namun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak mampu menopang untuk menggarap semua proyek tersebut. Karenanya, swasta diharapkan ikut ambil andil.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan pemerintah telah merevisi Peraturan Presiden untuk memberikan kemudahan bagi swasta yang ingin berinvestasi, khususnya dalam membangun pelabuhan. “Tantangan besar adalah harus ditenderkan, walaupun tanah sendiri. Ini sulit sekali menurut saya. Oleh karena itu, sekarang swasta boleh bangun pelabuhan sendiri. Boleh izin ke saya,” kata Jonan di Jakarta, Selasa, 29 Maret 2016. (Baca: Usulan Jonan, Pemerintah Bahas Utang Jepang untuk Pelabuhan Patimban).
Walaupun demikian, Jonan menjelaskan ada syarat penting yang harus dipenuhi, yaitu kesepakatan akan perjanjian masa konsesi. Dalam perjanjian ini, swasta mesti mengembalikan pelabuhan ke negara ketika konsesi habis, termasuk lahannya. Hal tersebut berlaku karena laut yang menempel pelabuhan digunakan sebagai kegiatan usaha. Misalnya, Taman Impian Jaya Ancol tidak ada masa konsesi karena lautnya tidak digunakan sebagai kegiatan usaha.
Jonan sedikit menyinggung pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung yang mulai digarap. Menurutnya, lahan yang di atasnya dibangun rel digunakan untuk kegiatan usaha. Sehingga, si investor harus mengembalikan asetnya, termasuk tanah kepada negara, setelah masa konsesi habis. “Setelah 50 tahun semua asetnya kembali ke negara,” ujarnya. (Baca juga: Pangkas Dwelling Time, 3 Pelabuhan Disiapkan Bantu Tanjung Priok).
Dalam kemudahan investasi bagi swasta ini, peran negara tidak bisa dikesampingkan. Oleh karena itu, negara masih menjadi pemegang saham mayoritas dalam pembangunan pelabuhan, sedangkan swasta maksimal memiliki 49 persen. Bukan hanya untuk pelabuhan, bandar udara pun demikian. Si pengelola harus memiliki badan usaha, namun kepemilikan maksimal hanya 49 persen.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Laut Umar Aris mengatakan swasta dapat membangun pelabuhan tetapi harus memenuhi syarat teknis, yaitu kedangkalan, angin, dan sebagainya. Ada pula syarat lainnya. “Aspek ekonomisnya harus dihitung melalui feasibility study, apakah perlu dibangun pelabuhan dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik,” ujar Umar. (Lihat pula: Belanda Berminat Ivestasi di Industri Maritim Indonesia).
Menurutnya, kemudahan usaha untuk swasta ini memiliki dasar hukum yang kuat, yakni untuk mempercepat pembangunan, khususnya sektor maritim. Selain itu, kemudahan untuk swasta dapat membuat beban penggunaan APBN berkurang. Oleh karena itu, jika swasta ingin membangun tanpa melibatkan APBN, proyek tersebut akan mudah disetujui.
Reporter: Miftah Ardhian