KATADATA - Polemik kehadiran angkutan umum berbasis aplikasi online dengan angkutan konvensional makin meruncing. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Sugihardjo meyebut Uber dan Grab Car belum memenuhi perizinan angkutan umum.
“Sampai hari ini, operasional Uber dan Grab Car dari sisi aturan lalu-lintas angkutan jalan adalah ilegal,” ujarnya dalam konferensi pers di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu (23/3). (Baca: Ada 3 Masalah, Jonan Minta Kominfo Blokir Uber dan Grab Car)
Uber dan Grab Car dianggap illegal karena tidak termasuk dalam kategori angkutan penumpang. Ketentuan ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan UU tersebut, hanya taksi dan mobil sewaan yang merupakan angkutan penumpang tanpa trayek.
Meski ilegal, Kementerian Perhubungan tidak memiliki kewenangan memblokir aplikasi layangan online untuk angkutan transportasi. Kementerian hanya bisa memberi masa transisi bagi Uber dan Grab Indonesia. Sebelum masa transisi, status quo diberlakukan. Untuk yang sudah terdaftar, tetap boleh beroperasi.
“Tetapi kalau melakukan ekspansi, tidak boleh,” ujar Sugihardjo. Ini berarti keduanya dilarang menambah armada dan diminta menghentikan perekrutan mitra baru sebagai pengemudi. Pemerintah masih belum menetapkan batas waktu masa transisi tersebut. (Baca: Grab dan Uber Diminta Gandeng Operator Resmi)
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Ansyah memberi penjelasan serupa. Ia menyebut, keputusan mengenai masa transisi akan diumumkan pada Kamis (24/3). Meski dinilai illegal, Dinas Perhubungan tidak memberi sanksi kepada keduanya. “Tidak ada sanksi pada masa transisi. Mereka tidak memiliki izin, oleh karena itu tidak bisa dicabut,” kata dia.
Sugihardjo mengakui bahwa kemajuan teknologi tidak dapat dibendung dan harus didukung, terutama untuk aplikasi online. Namun tetap harus memenuhi semua ketentuan yang ada, khususnya dalam hal perizinan. Kemenhub pun menawarkan dua pilihan bagi Uber maupun Grab Car.
Pertama, menetapkan badan usaha sebagai operator angkutan sesuai persyaratan dalam undang-undang. Selain harus memenuhi aturan mengenai badan hukum, kendaraan operasional juga wajib terdaftar. “Kalau pilih menjadi taksi ya harus pakai argo, dengan tarif sesuai ketentuan pemerintah daerah,” ujar Sugihardjo. (Baca: Ada 3 Masalah, Jonan Minta Kominfo Blokir Uber dan Grab Car)
Kedua, menjadikan badan usaha sebagai IT provider, dengan bekerjasama dengan angkutan resmi yang sudah terdaftar. Sugihardjo menyebut Grab Taxi, salah satu layanan Grab Indonesia, sebagai contoh. Pemerintah mempersilakan adanya pembentukan koperasi, dengan tetap tunduk pada aturan yang berlaku.
Sementara Legal Manager Grab Indonesia Teddy Trianto mengatakan izin operasional harus dibedakan dari izin mitra yang dirangkul perusahaan. Sejak awal beroperasi, “kami memiliki izin penyedia aplikasi dan juga terdaftar sebagai pembayar pajak,” ujarnya.
Grab lantas menjalin kerjasama dengan mitra yang telah memiliki izin. Jika izin belum tersedia, maka perusahaan berniat menggandeng pemerintah untuk memperoleh izin yang diperlukan. Teddy beralasan, sebenarnya angkutan sewa merupakan transportasi publik dengan pelat hitam. Ini diakui dalam UU 22/2009 dan PP 74/2014 tentang angkutan jalan. Namun, mitra Grab harus memiliki izin usaha angkutan sewa, izin operasional angkutan sewa, serta menjalani uji kelayakan kendaraan (KIR).
Dia mengklaim mitra Grab Indonesia sudah memenuhi persyaratan, termasuk uji KIR. Dia mencontohkanya mitra Grab di Bali yang memiliki semua izin tersebut. Seharusnya, sudah tidak ada masalah lagi. “Tapi kami masih menunggu arahan dari pemerintah,” kata Teddy. (Baca: Terancam Diblokir, Grab dan Uber Sepakat Bentuk Badan Usaha)
Ditemui pada kesempatan yang sama, Komisaris Uber Indonesia Donny Sutadi menyatakan akan mengikuti semua aturan Kementerian Perhubungan, serta mengevaluasi bisnis yang dijalankan saat ini. Ia berkomentar singkat. “Kami minta Menteri Perhubungan memberitahu apa saja yang diperlukan,” kata dia.