Jonan Minta KCIC Beli Semua Lahan untuk Kereta Cepat

Arief Kamaludin|KATADATA
Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan
Penulis: Safrezi Fitra
25/2/2016, 20.03 WIB

KATADATA - Polemik pembangunan proyek kereta cepat Jakarta–Bandung tidak juga mereda. Setelah perizinan, permasalahan lain kembali muncul terkait keberadaan lahan yang akan digunakan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) meminta PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) untuk membeli semua lahan yang dibutuhkan. Sementara, pihak KCIC menolak untuk membeli lahan tersebut.

“Enggak bisa ya. Kalau prasarana perkeretaapian itu setelah masa konsesi prinsipnya harus dikembalikan kepada negara,” ujar Menteri Perhubungan Ignasius Jonan usai rapat kerja bersama Komisi V DPR di di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (25/2). Komisi V membawahi bidang infrastruktur dan transportasi.

Prasarana perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi agar kereta tersebut dapat dioperasikan. Sarananya adalah unit kereta beserta fasilitasnya. Jonan mengatakan setelah konsesi berakhir semua sarana dan prasarana tersebut harus dikembalikan kepada negara.

Masalahnya, akan sulit pengembalian ini jika status tanah yang digunakan untuk prasarana kereta cepat bukan milik KCIC. Karena, kata Jonan, prasarana tersebut dibangun dan menempel di atas tanah. Jadi tidak bisa hanya dengan mengembalikan rel atau stasiunnya saja.

Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Hermanto Dwiatmoko menambahkan KCIC tidak mau membeli semua lahan yang akan digunakan. Perusahaan patungan BUMN dengan Cina ini hanya membeli sebagian lahannya. (Baca: Selain Kereta Cepat, KCIC Garap Proyek Pengembangan Kawasan)

KCIC pun meminta agar lahan yang tidak dibeli, tidak menjadi tanggung jawabnya setelah masa konsesi habis. "Jadi maksud mereka, kalau tanah itu sewa, bukan tanah PT KCIC. Jadi tidak diserahkan ke negara. Itu kan aneh," ujar Hermanto di lokasi yang sama.

Ini berarti ketika masa konsesi habis pemerintah harus membeli atau menyewa tanah yang tidak dimiliki PT KCIC tersebut apabila ingin melanjutkan operasi proyek kereta cepat ini. Seharusnya seluruh aset yang diserahkan kepada negara sudah dalam kondisi bersih dan layak pakai, karena hal ini diatur dalam Undang-Undang.

Hermanto menilai jika pemerintah nantinya masih harus mengeluarkan dana untuk membeli dan menyewa tanah, sama saja negara memberikan jaminan dalam proyek kereta cepat. Padahal janjinya tidak ada jaminan negara dalam bentuk apapun pada proyek ini.

Permasalahan tanah ini akan berdampak pada pembangunan proyek ini. Sejak seremoni peletakan fondasi pertama (groundbreaking) pada 21 Januari lalu, hingga sekarang pembangunan proyek ini belum juga berjalan. KCIC masih belum menyelesaikan perizinannya, yakni izin konsesi dan izin pembangunan. (Baca: Hermanto Dwiatmoko: Ada Politik di Belakang Kereta Cepat)

Untuk mendapatkan izin pembangunan, izin usaha, dan izin operasi, KCIC harus memenuhi persyaratan teknis prasarana. Jika urusan lahan untuk prasarana ini masih bermasalah, bisa dipastikan akan menghambat pembangunan, karena izinnya juga tidak akan dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan.

Selain masalah tersebut, kata Jonan, pihak KCIC juga masih merevisi dokumen sebagai kelengkapan untuk proses perizinan. Salah satunya dokumen studi kelayakan (feasibility study / FS). Pada dokumen sebelumnya, nilai investasi, panjang jalur dan teknis lainnya masih mengacu pada rencana awal dengan lima stasiun dari Gambir hingga Tegal Luar. Sementara proyek yang akan dibangun sekarang adalah empat stasiun dari Halim hingga Tegal luar.

Kemenhub juga meminta KCIC merevisi beberapa dokumen yang menggunakan bahasa Cina untuk diganti dengan bahasa Indonesia. Saat ini Kemenhub masih menunggu KCIC mengembalikan dokumen-dokumen tersebut, karena belum ada satu pun dokumen yang diserahkan. Jonan mengatakan apabila keseluruhan dokumen sudah selesai dilengkapi, seluruh izin yang dibutuhkan dari Kemenhub pun akan cepat untuk keluar.

Terkait perlu adanya konsultan untuk menilai proyek kereta cepat, kata Jonan, hal ini merupakan tanggung jawab pihak KCIC. KCIC harus mengeluarkan anggarannya sendiri untuk menyewa konsultan tersebut, bukan dana dari Kemenhub atau dari pemerintah. (Baca: Kantor Staf Presiden "Damaikan" Kontroversi Kereta Cepat)

Reporter: Miftah Ardhian