KATADATA - Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi Undang-Undang (UU). Ini merupakan UU pertama yang disahkan tahun ini.
Sidang berjalan tanpa dihujani interupsi. Satu-satunya interupsi berasal dari Fraksi Partai Demokrat, yang meminta aturan teknis undang-undang tersebut segera diterbitkan. Sebanyak 318 anggota dari sepuluh fraksi memberikan persetujuan. “Dengan ini kami sahkan perundangan Tapera,” kata Wakil Ketua DPR Agus Hermanto sembari mengetuk palu di penghujung Sidang Paripurna, di Gedung DPR, Selasa (23/2).
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tapera Yoseph Umar Hadi mengatakan UU ini akan bisa menjawab permasalahan kebutuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Saat ini masyarakat berpenghasilan menengah membutuhkan 800 ribu rumah per tahun. Jumlah ini belum termasuk kebutuhan rumah bagi MBR. Sementara pemerintah hanya sanggup menyediakan 300 ribu hingga 500 ribu rumah per tahun.
“Perlu solusi komprehensif agar persoalan rumah tidak menjadi bom waktu,” ujar Yoseph dalam laporannya di paripurna. (Baca: Diprotes Pengusaha, Pemerintah Buka Peluang Iuran Tapera Diubah)
Dia menjelaskan, pekerja formal maupun informal dengan penghasilan sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Warga Negara Asing (WNA) dengan visa kerja di Indonesia, dapat menabung di Tapera. Pekerja formal dengan penghasilan di atas UMP masih bisa ikut menabung dan uangnya akan dikembalikan saat berusia 58 tahun atau ketika pensiun.
Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono mengatakan pemerintah segera merespons UU ini dengan membuat aturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), serta pembentukan Badan Pengelola (BP) Tapera. Kelak, program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dilebur dalam Tapera.
Sebelum memulai pungutan, BP Tapera akan menerima suntikan modal dari program perumahan yang disokong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 43 triliun. Dari anggaran ini, Rp 33,3 triliun dialokasikan untuk program FLPP. Sementara itu, Rp 10 triliun merupakan pelimpahan anggaran Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapetarum) Pegawai Negeri Sipil. “Ini modal awal yang menurut saya sangat besar,” kata Basuki.
Anggota Pansus Tapera Muhammad Misbakhun menjelaskan besaran iuran maksimal Tapera ditetapkan tiga persen dari penghasilan pekerja. Namun, penghitungan mengenai beban pemberi kerja dan pekerja akan ditentukan dalam aturan turunan yang bersifat lebih teknis berdasarkan daerah masing-masing. (Baca: Pengusaha Tolak Pengesahan RUU Tabungan Perumahan Rakyat)
Nantinya, pansus bersama pemerintah akan berdialog dengan pengusaha agar bisa menerima aturan ini. “Kami akan cari jalan keluar, asalkan pengusaha tidak memboikot,” ujar Misbakhun dalam konferensi pers seusai pengesahan UU Tapera di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (23/2).
Dia mengakui bahwa ada keberatan dari pelaku usaha soal iuran Tapera, karena sudah dibebani iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sehingga, hadirnya Tapera dianggap menambah beban biaya pengusaha. Menurut dia, iuran ini tidak akan memberatkan pengusaha. Kami memberikan ruang kepada pengusaha untuk tidak langsung dikenakan iuran Tapera,” ujarnya.
Sementara Yoseph mengatakan hadirnya UU Tapera ini akan membantu pekerja mendapatkan rumah yang dekat dengan lokasi kerja. Hal ini dinilai secara tidak langsung membantu pengusaha memotong biaya-biaya terkait upah pegawai.
Sekadar informasi RUU Tapera sudah menjadi pembahasan di DPR sejak 2009. RUU ini merupakan inisiatif DPR saat itu. Namun, pembahasannya tidak selesai, sampai akhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak usulan ini. Setelah pemerintahan SBY berakhir, DPR kembali mengusulkan RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2015. Pada Agustus 2015, draf RUU Tapera mulai dibahas bersama pemerintah dan berhasil disahkan hari ini. (Baca: Pernah Ditolak Pemerintah, DPR Kembali Usulkan RUU Tapera)