Setelah JICT, Pansus Minta BPK Audit Proyek Pelabuhan Kalibaru

Katadata | Arief Kamaludin
Penulis: Safrezi Fitra
16/11/2015, 17.00 WIB

KATADATA - Pansus Angket Pelindo II meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigatif secara menyeluruh terhadap kinerja PT Pelabuhan Indonesia II (Persero). Audit terutama dilakukan terhadap pembangunan pelabuhan Kalibaru. Proyek senilai Rp 25 triliun ini dianggap rentan terjadi pelanggaran.

Ketua Pansus Rieke Diah Pitaloka menyoroti sejumlah potensi pelanggaran dalam proyek pembangunan Pelabuhan Kalibaru terutama dari sisi pembiayaannya. Untuk proyek ini Pelindo II telah menerbitkan obligasi berdenominasi dolar atau global bond senilai US$ 1,6 miliar.

Obligasi perdana Pelindo II yang diterbitkan pada April lalu ini dibagi dalam dua seri. Seri pertama senilai US$ 1,1 miliar dengan bunga bunga 4,25 persen. Seri kedua senilai US$ 500 juta dengan bunga 5,375 persen. Selain itu, Pelindo II juga mendapat pinjaman kerja dari luar negeri sebesar US$ 1,25 miliar.

Pembiayaan sebanyak ini perlu dievaluasi berdasarkan kebutuhan dan kemampuan Pelindo II. Jika terjadi pelanggaran, akan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Makanya, Rieke meminta audit investigatif dilakukan menyeluruh, mencakup studi kelayakan, izin lingkungan, izin dari Otoritas Pelabuhan, serta pengadaan barang dan jasa selama pembangunan pelabuhan Kalibaru tersebut.

"Kami meminta agar BPK melakukan evaluasi mengenai potensi kerugian negara dari hal ini," ujar Rieke dalam pembicaraan dengan pimpinan BPK di Gedung BPK, Jakarta, Senin (16/11).

Anggota VII BPK Achsanul Qasasi mengatakan audit investigatif proyek Pelabuhan Kalibaru membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pasalnya proyek tahap pertama senilai Rp 25 triliun ini adalah proyek besar yang terdiri dari berbagai macam detail yang rinci. "Proyek ini luasnya 20 hektare dan ada di tengah laut, tiangnya saja ada 2.000 unit. Tapi karena ini adalah amanat Pansus akan kami jalankan," kata Achsanul.

Audit ini berbeda dengan yang dilakukan pada perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT). Achsanul mengatakan audit investigatif terhadap JICT sudah hampir rampung dalam waktu kurang dari satu bulan. Kemungkinan pekan depan BPK akan menyerahkan hasilnya kepada Pansus. "Kami hanya tinggal mencari waktu bersama Pansus untuk membuka hasilnya," kata Achsanul.

Terkait kasus perpanjangan kontrak JICT, sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino melakukan tujuh pelanggaran. Pertama, Lino memperpanjang kontrak dengan Hutchison Port Holdings (HPH), lima tahun sebelum jangka waktu berakhir. Ini melanggar Pasal 27 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 6 Tahun 2011.

Perpanjangan kontrak ini juga dilakukan tanpa perjanjian konsesi dengan Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok sebagai regulator. Hal ini dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. "Pelanggaran ketiga, saudara Lino tidak mematuhi surat Kepala Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok tertanggal 6 Agustus 2014, agar tidak memperpanjang perjanjian sebelum memperoleh konsesi tersebut," kata Rizal. (Baca: Lino: Jonan Setuju Hutchinson Perpanjang Kontrak JICT)

Rizal juga menuduh Lino tidak menggubris surat Komisaris Utama Pelindo II Luky Eko Wuryanto, tertanggal 23 Maret 2015, agar merevaluasi dan renegosiasi besaran up front fee dengan Hutchison Port Holdings (HPH). Dalam perjanjian 1999, up front fee sebesar US$ 215 juta plus US$ 28 juta, sekarang hanya US$ 215 juta tanpa tambahan apapun.

Tudingan selanjutnya, perpanjangan tersebut tidak dilakukan dengan tender terbuka, sehingga tidak mendapatkan harga yang kompetitif. Efeknya, bisa berpotensi terkena tuntutan Post Bider Claim dari peserta tender sejak 1999. "Dia juga mengabaikan keputusan dewan komisaris yang ditandatangani Komisaris Utama Tumpak Hatorangan Panggabean pada 30 Juli 2015," kata Rizal.

Terakhir, Rizal menyebut perpanjangan kontrak menimbulkan potensi kerugian negara berupa harga jual lebih murah dengan selisih uang muka US$ 28 juta. Selain itu, rendahnya penjualan JICT terlihat dari perbedaan kajian dua konsultan yang digandeng Lino dengan komisaris Pelindo II.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution