Banyak Perusahaan PHK dan Rumahkan Karyawan, Apa Syarat dan Aturannya?

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz
Pekerja korban PHK terdampak COVID-19 Juliana (22) mengikuti pelatihan menjahit di Balai Mulya Jaya, Jakarta, Kamis (7/5/2020). Balai Mulya Jaya Jakarta yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Sosial, sejak 30 April 2020 telah menjadi Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan pelatihan keterampilan bagi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) dan pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena terdampak COVID-19.
Penulis: Pingit Aria
19/5/2020, 16.16 WIB

Dampak ekonomi pandemi corona sudah merambat ke Indonesia. Adanya pembatasan mobilitas masyarakat membuat banyak pabrik dan perkantoran terpaksa berhenti beroperasi.

Beberapa di antara mereka bahkan sudah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Yang lain memberikan penawaran kepada karyawannya untuk mengambil cuti tak berbayar atau unpaid leave, alias dirumahkan.

Data Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020, jumlah pekerja yang terdampak COVID-19 sebanyak 2.084.593 orang yang berasal dari sektor formal maupun informal dari 116.370 perusahaan. Dari jumlah tersebut, jumlah pekerja formal yang dirumahkan adalah 1.304.777 dari 43.690 perusahaan.

Sedangkan 241.431 pekerja formal dari 41.236 perusahaan sudah di-PHK. Sektor informal juga terpukul karena kehilangan 538.385 pekerja yang terdampak dari 31.444 perusahaan atau UMKM.

(Baca: Risiko New Normal dan Berdamai dengan Corona ala Jokowi)

Strategi ini dilakukan agar perusahaan tetap bertahan saat mereka mengalami pukulan yang sangat berat akibat pandemi Covid-19. Namun, apa perbedaan status hukum PHK dan dirumahkan? Bagaimana pula dampaknya terhadap keuangan perusahaan dan karyawan?

Simak penjelasannya.

Aspek Hukum

PHK

Advokat sekaligus Founder Industrial Relation (IR) Talk, Masykur Isnan mengatakan, pandemic Covid-19 telah menimbulkan gelombang PHK yang cukup besar di Indonesia. “Harapan kita jangan meningkat, kita berharap justru berkurang,” kata dia dalam diskusi yang diadakan oleh Talenta by Mekari, beberapa waktu lalu.

Terkena PHK atau dirumahkan memang kondisi yang tak mengenakkan bagi karyawan. Namun, Masykur meminta masyarakat untuk melihat dari berbagai sisi, misalnya kondisi force majeur yang dialami perusahaaan.

Ada beberapa produk hukum yang bisa menjadi acuan. Misalnya, pasal 164 (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan perusahaan dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa.

Kemudian, ada Kitab Undang Undang Hukum Perdata pada Pasal 1244 dan Pasal 1245. Ada juga beberapa putusan Pengadilan (Yurisprudensi), seperti:

  • Putusan MA No 435/K/PDT.Sus-PHI/2015
  • Putusan PHI PN palu No.12/Pdt.Sus PHI/2014/PN Pal
  • Putusan PHI PN Medan No.242/Pdt.Sus PHI/2018/PD Mdn 
    PELATIHAN KORBAN PHK DAN PPKS TERDAMPAK COVID-19 (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz)

Dirumahkan

Berbeda dengan PHK, “dirumahkan” tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hanya, ada beberapa produk hukum yang mengenal istilah “dirumahkan”.

Misalnya, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Kepada Pimpinan Perusahaan di Seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal.

Pada butir F disebutkan langkah “meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu” sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja.

(Baca: Hindari PHK Akibat Corona, Garuda Rumahkan 800 Pegawai Kontrak)

Selain itu, istilah tersebut dapat juga ditemukan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja.

Hak Karyawan

Hak pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (1). Bunyinya, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Sedangkan, mereka yang dirumahkan, status hukumnya masih karyawan yang berhak menerima upah. Meski, dalam situasi sulit akibat pandemi Covid-19 ini, banyak perusahaan yang tidak membayarkan upah bagi karyawan yang dirumahkan secara penuh.

(Baca: THR PNS dan Pensiunan Cair, Bisa Tahan Anjloknya Daya Beli Masyarakat)

Selain itu, menjelang Lebaran seperti saat ini, karyawan yang dirumahkan juga masih berhak menerima Tunjangan Hari Raya atau THR. Meski, dalam kondisi pandemi, THR bisa dicicil dan ditunda pembayarannya.

Ini menyusul diterbitkannya Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). “Artinya THR tetap harus diberikan tetapi harus dilihat dari kemampuan perusahaan. Kalau mampu bisa dibayar 1 kali upah, kalau tidak mampu bisa dicicil atau ditunda dengan kesepakatan antara kedua belah pihak dan Dinas Ketenagakerjaan,” kata Masykur.