Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebutkan kebutuhan garam tahun ini diperkirakan mencapai 4,5 juta ton, naik dibandingkan tahun lalu ayang mencapai 4,2 juta ton. Adapun kenaikan ini, salah satunya sejalan dengan meningkatnya kebituhan industri.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin menyatakan, Indonesia sebenarnya telah mencapai swasembada garam karena sudah bisa memproduksi hingga 3,5 juta ton. Namun, kebutuhan komoditas tersebut terus meningkat.
Menurutnya, dua tahun lalu Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah mencanangkan kita produksi 3 juta ton. Yang mana saat itu kebutuhan cuma 3 juta ton.
"Ternyata sekarang kebutuhan 4,5 juta ton. Kalau bicara swasembada, kita sudah mencapai target, hanya saja kebutuhan ternyata meningkat," katanya di Jakarta dikutip, Selasa (2/6).
(Baca: Harga Jatuh, KKP Revisi Target Serapan Garam Lokal Jadi 1,5 Juta Ton)
Meski kebutuhan terus naik, pemerintah berupaya meningkatkan produksi garam. Misalnya, dengan mendorong intensifikasi lahan garam. Pasalnya, luas lahan garam saat ini diklaim telah meningkat 30 ribu hektare lebih.
Pihaknya juga telah meminta PT Garam (Persero) untuk mendorong metode pergaraman yang lebih modern sehingga produktivitas bisa meningkat.
"Kami minta pergaraman tidak lagi dilakukan secara tradisional yang hasilnya 50-60 ton per ha per tahun. Kalau intensif, bisa 100-150 ton per hektare. Kalau punya 30 ribu ha, dengan produksi 100-150 ton, seharusnya kita bisa swasembada," ujarnya.
Meski kebutuhannya cukup tinggi, pemerintah tetap memasang target produksi di kisaran 3,5 juta ton hingga 4 juta ton tahun ini.
Pemerintah juga terus berupaya untuk menekan impor garam dengan mendorong produksi tanpa lahan garam seperti dengan metode memanfaatkan PLTU batu bara di Cilegon, Banten. Pada tahun lalu, pemerintah mengimpor garam sebanyak 2,7 juta ton.
"Semua cara mengurangi impor, bagaimana mengurangi seoptimal mungkin, kami lakukan," kata Safri.
PT Garam menyebut impor yang dilakukan pada tahun lalu menyebabkan 150 ribu ton garam tak terserap pasar. Ini menjadi penyebab harga garam di tingkat petani atau hulu anjlok.
Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko mengatakan, harga garam terus menurun sejak September 2019. “Turun karena over supply atau over impor,” kata Budi dalam rapat virtual dengan Komisi VI DPR RI, Senin (20/4).
(Baca: Garam Lokal Tak Terserap Pasar, PT Garam Usul Perubahan Kebijakan)
Adapun pada tahun lalu, produksi PT Garam mencapai 450 ribu ton atau lebih tinggi dari target sebanyak 350 ribu ton. Jumlah tersebut bahkan merupakan yang terbesar sepanjang sejarah.
Kenaikan produksi tersebut terjadi seiring dengan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas yang dilakukan PT Garam. Salah satunya, penggunaan water engineer.
Ia pun memperkirkaan produksi pada tahun ini mencapai 450 ribu ton, jika kondisi cuaca kembali mendukung. Budi menjelaskan pihaknya dapat mengolah garam rakyat menjadi garam industri.
Namun, perusahaan selama ini memiliki keterbatasan modal kerja. Ia mencontohkan pada 2015 lalu, PT Garam sempat mendapatkan penyertaan modal negara sebesar Rp 300 miliar, tetapi Rp 202 miliar digunakan untuk modal kerja.
“Kalau ada investasi, saya yakin garam rakyat bisa jadi added value. Jadi bukan hanya main di hulu, tapi di hilir juga,” ujar dia.
Adapun data mengenai tren produksi dan impor garam nasional tahun lalu, bisa dilihat dalam databoks berikut: