Permintaan Sepatu Bermerek Turun 30%, Ekspor Diramal Stagnan Rp 64 T

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Pekerja mengerjakan pembuatan sepatu handmade Bogor di bengkel sepatu La' Forsa, Sangga Buana, Kelurahan Babakan, Kota bogor, Jawa Barat, Rabu (6/11/2019). Ekspor sepatu asal Indonesia diprediksi stagnan dengan tahun lalu.
Editor: Ekarina
6/8/2020, 19.03 WIB

Ekspor sepatu atau alas kaki tahun tahun ini diperkirakan hanya akan mencapai di angka US$ 4,4 miliar atau setara Rp 64 triliun. Angka ini stagnan dibandingkan ekspor tahun lalu, karena permintaan atau order sepatu, termasuk yang  berasal dari merek ternama anjlok 30%. 

Beberapa merek sepatu ternama produksi Indonesia yang telah menembus pasar ekspor di antaranya yakni Nike, Adidas dan Reebok. 

Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengatakan, secara umum ekspor sepatu masih mengandalkan pangsa pasar Eropa dan Amerika Serikat (AS), meskipun kedua negara tersebut tengah mengalami pelambatan ekonomi.

Kontribusi ekspor dari kedua pasar tersebut mencapai 83% dari seluruh ekspor sepatu. "Industri alas kaki itu memang ada harapan, karena pada waktu Tiongkok terkena corona itu banyak order beralih ke Indonesia," kata Eddy dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (6/8).

Menurut dia, adanya peralihan permintaan dari Tiongkok membuat kinerja ekspor sepatu pada semester pertama tumbuh positif. Tercatat, pada periode Januari - April ada ekspor sepatu naik 14%. Lalu periode Januari - Mei ekspor sepatu naik 8% dibanding tahun lalu.

Sedangkan secara komulatif kinerja ekspor Januari - Juni ada kenaikan sebesar 9,73%. "Jadi kalau kinerja industri sepatu dilihat dari ekpsor kita tidak ada masalah," kata dia.

Lebih lanjut, Eddy menjelaskan, kinerja yang positif ini menurutnya tak lepas dari adanya kepercayaan pembeli terhadap produk alas kaki dalam negeri. Salah satunya karena industri ini sudah mampu menerapkan protokol kesehatan ketat.

Eddy mengatakan, dalam kegiatan produksi, industri alas kaki memiliki sebanyak 12 tahapan protokol yang wajib diterapkan setiap pabrik.Sementarabeberapa industri lain hanya menerapkan protokol sebanyak empat tahap.

Langkah itu ditempuh untuk menghindari tinbulnya klaster penyebaran virus corona. Terlbih, pabrik separtu merupaan industri padat karya dengan karyawan sekitar  1.200 orang.

"Buyer sangat mengapresiasi sekali dengan kemampuan industri kita yang memberikan pekerjaan dengan baik pada masa pandemi jadi mereka tidak akan meninggalkan kita," kata dia.

Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri sebelumnya mengatakan target ekspor alas kaki tahun ini diperkirakan meleset dari target yang ditetapkan akhir tahun lalu sebesar US$ 5,1 miliar atau setara Rp 71 triliun. 

Adapun pemesanan sepatu masih didominasi dari merek-merek ternama. "Industri alas kaki sebenarnya ditargetkan tumbuh tahun ini. Tapi dengan adanya Covid-19, dampaknya ekspor mulai terasa sejak bulan Mei sedangkan untuk pasar lokal sejak akhir Maret sudah banyak yang tutup karena pembeli banyak membatalkan pesanan," kata dia.

Lebih lanjut, Firman menjelaskan secara keseluruhan pertumbuhan industri alas kaki akan terkoreksi pada tahun ini. Padahal, sebelumnya dia memperkirakan industri alas kaki mampu tumbuh 13%.

"Kami belum bisa menghitung berapa koreksi target karena Covid-19 belum selesai dan new normal juga baru dibuka semua sehingga belum bisa menghitung seberapa besar pertumbuhannya," kata dia.

Pandemi corona menyebabkan industri manufaktur menghadapi pukulan berat. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut, pertumbuhan industri berpotensi terpangkas menjadi 2,5% tahun ini, dibanding target pertumbuhan sebelumnya sebesar 5,3%.

Agus mengatakan, industri manufaktur mulai mengalami tekanan pada Maret seiring dengan meluasnya kasus Covid-19 di Tanah Air. Akibatnya, banyak industri tak mampu berproduksi secara maksimal, terlebih dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

"Dengan pertumbuhan ekonomi yang juga diperkirakan turun menjadi 2,4%, maka pertumbuhan industri kemungkinan nanti akan sekitar 2,5%-2,6%," kata Agus dalam video konferensi di Jakarta, Selasa (21/4).

Sementara berdasarkan skema terburuk, jika ekonomi ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 0,5% sebagaimana prediksi dana moneter internasional (IMF), maka pertumbuhan industri juga diramal akan berada di kisaran 0,7-0,8%.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto