Kementerian Perindustrian menargetkan mengurangi 35% impor produk makanan-minuman pada 2022. Kebijakan mengendalikan impor makanan dan minuman ini sebagai upaya mendorong pengembangan industri dalam negeri.
"Kebijakan ini bukan antiimpor, bila produknya tak bisa digantikan dalam negeri dan dibutuhkan oleh industri, impor masih diperbolehkan," kata Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustri Abdul Rochim dalam webinar Jakarta Food Security Summit atau JFSS ke-5 yang diselenggarakan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) bekerja sama dengan Katadata, Kamis (19/11).
Impor industri makanan dan minuman cukup besar, pada periode Januari – September 2020 berkisar US$ 8,22 miliar atau sekitar Rp 116 triliun. Nilai ini memiliki kontribusi 9,1% terhadap impor industri pengolahan nonmigas yang besarannya mencapai US$ 85,49 miliar atau sekitar Rp 1.210 triliun.
Kementerian Perindustrian membuat daftar beberapa produk impor makanan dan minuman yang potensial dikurangi seperti susu, buah olahan, pangan berbasis tebu dan komoditi jagung. "Potensi pengurangan impor ini senilai Rp 3,6 triliun," kata Abdul.
Strategi pengembangan subtitusi impor dengan meningkatkan utilisasi industri dalam negeri yang saat ini hanya 60%. Tahun depan utilisasi industri eksisting ditargetkan menjadi 75% dan pada 2022 meningkat menjadi 80%. "Sejalan dengan itu kami mendorong pengembangan industri makan minuman dengan kerja sama dengan pemain global," kata dia.
Pengembangan industri subtitusi impor ini potensial menarik investasi untuk 16 proyek dengan nilai investasi Rp 22,6 triliun kurun waktu 2019-2023. Penguatan industri makan dan minuman, kata Abdul, merupakan hal yang strategis mengingat jumlah penduduk Indonesia mencapai 260 juta jiwa dengan kebutuhan pangan yang terus meningkat.
Abdul mengatakan pembatasan impor makanan dan minuman akan diikuti dengan kebijakan larangan terbatas, menaikkan tarif, SNI wajib dan mengoptimalkan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN).
Mantan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menilai faktor daya saing merupakan poin penting yang perlu diperhatikan dari kebijakan subtitusi impor. Bila ternyata industri dalam negeri tak mampu memproduksi subtitusi impor yang harganya lebih murah, malah akan memberatkan industri dalam negeri.
"Kita harus memilih mana yang benar-benar produk makanan minuman yang memiliki daya saing tinggi," kata Bayu.
Optimalisasi Budi Daya Laut
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memprioritaskan program optimalisasi perikanan budi daya laut salah satunya dengan mengembangkan klaster budi daya udang di sejumlah daerah.
Saat ini kebutuhan udang di dunia mencapai 13 juta ton per tahun dan Indonesia baru memasok 1 juta ton udang per tahun untuk dunia. "Klaster ini perlu ditingkatkan guna mendorong kebutuhan maupun perekonomian nasional," kata Edhy.
Menurut Edhy, Indonesia pernah menjadi salah satu produsen dan eksportir udang galah dan windu terbesar dunia. “Kita harus ambil kembali predikat tersebut,” katanya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto menyatakan untuk menopang kinerja ekspor selain perikanan tangkap, perikanan budi daya sangat menjanjikan. Dia menilai perlu kolaborasi antara pemerintah dan swasta untuk melakukan observasi dan eksploitasi budi daya perikanan.
Dia juga menilai pemerintah dan pelaku usaha perikanan juga perlu memperkuat supply chain dalam sistem logistik ikan nasional untuk menghasilkan efisiensi dan daya saing produk perikanan di pasar global. Dia menyebut Indonesia memiliki lima komoditas perikanan andalan ekspor. "Namun hilirisasi produk perikanan di Tanah Air masih rendah dan ini tantangan KKP," kata Yugi.