Akhir Kisah Semen Murah Asal Tiongkok yang Terbukti Predatory Pricing

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Happy Fajrian
18/1/2021, 15.20 WIB

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum produsen semen PT Conch South Kalimantan Cement dengan denda sebesar Rp 22,35 miliar setelah terbukti melakukan praktik predatory pricing atau jual rugi semen di pasar Kalimantan Selatan (Kalsel).

Produsen semen yang sahamnya dikuasai oleh perusahaan semen asal Tiongkok Anhui Conch Cement Company Limited ini pada 2015 hingga 2019 menjual semennya sangat murah, jauh di bawah harga pasar. Hal ini membuat produsen semen lainnya tidak dapat bersaing, dan akhirnya tersingkir dari pasar di sana.

KPPU melaporkan Conch menjual semen jenis PCC seharga Rp 58.000 per zak 50 kg. Sedangkan produsen semen lainnya, seperti Semen Gresik, menjual di kisaran Rp 60.000-65.000 per zak.

“Ini praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terlapor terbukti melanggar pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Lima merek semen terlempar dari Kalsel, meninggalkan Conch sendirian” kata Ketua Majelis KPPU Ukay Karyadi, beberapa waktu lalu.

Pasal 20 UU No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada intinya melarang pelaku usaha memasok barang atau jasa dengan cara menjual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah, dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya do pasar sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Budi, salah seorang pemilik toko bahan bangunan di Balikpapan, Kalsel, mengatakan bahwa perbedaan harga semen Conch dengan merek lainnya terlihat kecil, “tapi bagi pembeli untuk proyek yang membeli dalam jumlah besar beda harga itu jadi cukup lumayan”.

Selain itu pembeli dalam jumlah kecil pun secara alamiah akan memilih semen dengan harga yang termurah. Namun harga murah tersebut diduga di bawah harga pokok produksinya, atau dijual rugi.

Databoks volume penjualan semen:

Berdasarkan persidangan yang mulai digelar pada 23 Juni 2020 dan telaah Majelis Komisi pada alat bukti yang diperoleh, Conch terbukti melakukan jual rugi dan menjual di harga selalu di bawah harga pasaran semen PCC di Kalsel antara 2015 sampai 2019.

Sementara penetapan harga yang sangat rendah disimpulkan melalui alat bukti yang menunjukkan harga jual rata-rata CONCH lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya untuk penjualan semen jenis PCC di wilayah Kalimantan Selatan.

Majelis Komisi juga menemukan di laporan keuangan di tahun 2015, Conch mengalami kerugian sebagai akibat dari perilaku tersebut. Ongkos angkut semen dari pabrik di Jawa ke Kalimantan Selatan diperhitungkan tidak membuat beda harga sangat besar.

Majelis Komisi juga menemukan bahwa Conch secara kepemilikan dikendalikan oleh Anhui Conch Cement Company Limited selaku induk utama perusahaan multinasional yang memiliki kemampuan finansial yang kuat dan berpeluang besar untuk menguasai industri semen secara global.

“Dengan dukungan tersebut, Conch memiliki kemampuan untuk menjalankan strategi bisnis dari proses produksi hingga pemasaran, termasuk strategi penetapan harga agar lebih murah dibandingkan harga pasar atau dari harga pelaku usaha pesaingnya,” kata Karyadi.

Awal Mula Kasus Conch

Federasi Serikat Pekerja Industri Semen Indonesia (FSP-ISI) dan Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Gerindra Andre Rosiade, sebagai pelapor dugaan predatory pricing semen Conch, menyambut hasil putusan KPPU.

Menurut Andre, putusan KPPU tersebut merupakan kemenangan bersama seluruh rakyat Indonesia dalam melawan hegemoni asing di industri semen nasional. "Kami menunggu hingga 1,5 tahun hingga akhirnya putusan ini keluar," ujarnya.

Andre dan FSP-ISI melaporkan dugaan predatory pricing produk semen asal Tiongkok dengan merek Conch di daerah Kalsel pada 8 Agustus 2019. Dia menyerahkan bukti harga penjualan semen Conch yang jauh di bawah harga pokok produksi dan struktur harga produksi.

"Harga modal per zak (kantong) semen (50 Kg) Rp 53.000, namun semen Tiongkok menjualnya pada harga Rp 45.000. Data yang kami gunakan adalah data riil pasar," kata Andre ketika itu.

Untuk membuktikan pelanggaran terkait jual rugi atau predatory pricing adalah dengan menyelidiki struktur biaya perusahaan. Andre mengatakan bahwa industri semen termasuk yang kompetitif, sehingga harga bahan baku antarpabrik relatif sama.

Karena itu dia menganggap aneh bila harga jual semen Tiongkok lebih rendah dari harga pokok produksi. "Untuk itu kami sangat yakin bahwa dapat diduga terjadi praktik jual rugi yang dilakukan oleh semen Tiongkok ini," kata Andre.

Dia juga menjelaskan bahwa praktik jual rugi ini awalnya seolah-olah menguntungkan konsumen karena mendapatkan harga murah. Namun, dalam jangka panjang dampaknya akan mengancam kelangsungan usaha produsen semen lainnya.

Dia mencontohkan kasus bangkrutnya Semen Tarjun Indocement di Kalimantan Selatan karena kalah bersaing dengan semen Tiongkok. Semen Tarjun Indocement menjual semennya dengan harga Rp 53.000 per zak.

Databoks kinerja emiten semen:

Harga semen Tiongkok saat itu Rp 50.000 per zak. Namun, begitu pabrik Tarjun di Kalimantan Selatan tutup, harga semen Tiongkok melonjak menjadi Rp 65.000 per zak.

"Inilah yang kami takutkan bila nanti semen lokal mati, mereka bisa menaikkan harga seenaknya. Kedaulatan kita terancam. Presiden Jokowi harus perhatikan ini," katanya.

Ppraktik curang produsen semen Tiongkok juga telah membuat Holcim tumbang dan memutuskan keluar dari Indonesia. Holcim akhirnya diambil alih oleh PT Semen Indonesia Tbk.

Reporter: Antara