Pemerintah akan mengubah strategi dalam melawan kampanye hitam minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) di pasar global, terutama oleh negara-negara Uni Eropa. Strategi tersebut yaitu dengan memaparkan kekurangan dari minyak nabati lainnya.
Direktur Utama Badan pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) Eddy Abdurrachman mengatakan bahwa selama ini strategi Indonesia melawan kampanye sawit hanya bersifat defensif, tidak terlalu ‘menyerang’ minyak nabati lainnya.
“Kita akan permasalahkan juga minyak nabati lain di Eropa, misalnya rapeseed. Tidak hanya minyak sawit, rapeseed juga memiliki dampak terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) dan lingkungan,” kata Eddy dalam diskusi yang diselenggaran PWI secara virtual, Sabtu (6/2).
Eddy menyebutkan bahwa selama ini strategi Indonesia melawan kampanye hitam sawit hanya dengan berfokus pada peran kelapa sawit terhadap ekonomi dan tingginya produktivitas komoditas ini dibandingkan minyak nabati lain.
“Dinyatakan bahwa sawit merusak biodiversity, kita juga akan mempermasalahkan bagaimana rapeseed di Eropa yang permanfaatan pupuknya berdampak pada biodiversity laut. Kita akan ubah strategi, akan attack seperti yang disampaikan presiden,” ujar dia.
Dalam paparannya, Eddy mengatakan bahwa industri sawit mampu menunjukkan kekuatannya dan menjadi salah satu dari sedikit industri besar nasional yang mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19.
Salah satu faktor penting ketahanan pertumbuhan sektor sawit selama pandemi Covid-19 di dalam negeri adalah adanya program penggunaan energi terbarukan melalui mandatori biodiesel berbasis sawit.
Setelah sukses menjalankan program mandatori biodiesel 20 persen sejak 2016 sampai dengan 2019, pemerintah melanjutkan dengan program mandatori B30 sejak Januari 2020 yang menambah daya serap minyak sawit di pasar dalam negeri sekaligus mendorong stabilitas harga minyak sawit.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kelapa sawit menjadi komoditas yang paling efisien dalam penggunaan lahan, dibandingkan dengan komoditas bahan baku minyak nabati lainnya.
Dengan produktivitas yang terbilang tinggi, kelapa sawit hanya menggunakan lahan lebih sedikit, yakni 0,3 hektare (ha) untuk menghasilkan 1 ton CPO. "Sementara rapeseed oil butuh 1,3 ha, sunflower 1,5 ha dan soybean 2,2 ha," kata Airlangga.
Selain itu industri sawit menyerap lebih dari 16 juta pekerja, sehingga menjadi sektor strategis bagi perekonomian masyarakat.
Sementara program insentif biodiesel melalui pendanaan dari BPDPKS yang implementasi pertamanya sejak Agustus 2015 dan terlaksana sampai November 2020, telah menyerap biodiesel dari sawit sekitar 23,49 juta kiloliter.
Volume tersebut setara dengan pengurangan Greenhouse Gas Emissions (GHG) sebesar 34,68 juta ton CO2 ekuivalen dan menyumbang sekitar Rp4,83 triliun pajak yang dibayarkan kepada negara.
"Pengembangan B30 menjadi kebijakan pemerintah dalam meningkatkan permintaan dalam negeri. Selain itu, program mandatori biodiesel juga mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil," kata Airlangga.
Kerja Sama Dengan Malaysia
Indonesia pun mengajak serta Malaysia yang merupakan negara produsen utama kelapa sawit dunia untuk melawan diskriminasi sawit. Ajakan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Muhyiddin Yassin di Istana Merdeka, Jumat (5/2).
“Indonesia akan terus berjuang melawan diskriminasi terhadap sawit. Perjuangan tersebut akan lebih optimal jika dilakukan bersama. Indonesia mengharapkan komitmen yang sama dengan Malaysia mengenai isu sawit ini,” kata Jokowi.
PM Malaysia Muhyiddin Yassin pun menyampaikan hal senada. Menurut dia diskriminasi sawit tidak menggambarkan kelestarian industri sawit dunia dan kontradiktif dengan komitmen UE kepada Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dalam hal perdagangan bebas.
"Malaysia akan terus bekerja sama dengan pihak Indonesia dalam isu diskriminasi minyak sawit, terutama memperkasakan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)," kata Muhyiddin Yassin.
Menurut Yassin kampanye tersebut tidak berdasar dan tidak menggambarkan industri minyak sawit yang sebenarnya, serta kelestarian alam sekitar yang tetap terjaga.
Menteri Perusahaan Perladangan dan Komoditi Malaysia, Mohd. Khairuddin Aman Razali pada Sabtu (6/2) pun menyatakan akan segera bertemu dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartanto untuk menetapkan strategi terbaik alam melindungi industri sawit kedua negara.
“Indonesia dan Malaysia merupakan negara penghasil sawit pertama dan kedua terbesar di dunia juga senantiasa berusaha mencari kesepakatan dalam memangun dan memelihara industri sawit di kedua negara,” kata dia.