Menang Referendum Warga Swiss, Bea Masuk Sawit RI Akan Dipangkas

ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/rwa.
Pekerja menimbang tandan buah segar sawit di sebuah RAM Kelurahan Purnama Dumai, Riau, Rabu (3/2/2021).
Penulis: Happy Fajrian
8/3/2021, 17.05 WIB

Swiss dan Indonesia akhirnya melanjutkan perjanjian perdagangan bebas setelah terkendala kontroversi keberlanjutan produk minyak kelapa sawit Indonesia. Referendum yang dilaksanakan pada Minggu (7/3) menunjukkan 51,6% pemilih publik Swiss memberikan lampu hijau terhadap perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.

Aktivis lingkungan dan LSM anti-globalisasi Swiss menolak perjanjian perdagangan bebas karena akan meningkatkan permintaan minyak sawit murah asal Indonesia. Para aktivis lingkungan menganggap minyak nabati ini bertanggung jawab atas berkurangnya lahan hutan, kebakaran, dan eksploitasi pekerja.

Sehingga, mereka hanya akan mengizinkan perjanjian perdagangan bebas dilanjutkan jika produk minyak sawit asal Indonesia telah memenuhi syarat-syarat keberlanjutan. Inilah yang memicu referendum.

Berdasarkan hasil referendum, pertentangan terbesar terhadap perjanjian perdagangan bebas ini berasal dari daerah Geneva di mana banyak terdapat perusahaan berbasis komoditas. Begitu juga di Vaud yang merupakan lokasi kantor pusat perusahaan makanan raksasa Swiss, Nestle.

Dengan perjanjian perdagangan bebas ini, Indonesia akan menghapuskan bea masuk untuk produk asal Swiss seperti keju, obat-obatan (farmasi), serta jam tangan.

Sedangkan Swiss akan menghapuskan bea masuk produk-produk industri asal Indonesia. Ini termasuk rencana penurunan tarif untuk komoditas perkebunan seperti minyak kelapa sawit di mana Swiss akan menurunkan bea masuk 20 - 40% untuk volume impor hingga 12,5 ribu ton per tahun.

Presiden Swiss Guy Parmelin mengatakan bahwa rakyat Swiss merasa perjanjian perdagangan bebas ini benar dan seimbang. Referendum ini juga bukanlah pilihan ekonomi di atas hak asasi manusia dan lingkungan.

“Kekhawatiran lawan (dalam referendum) akan diperhitungkan, dan Swiss akan mendukung Indonesia dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan,” ujarnya seperti dikutip swissinfo.ch, Senin (8/3).

Parmelin mengisyaratkan bahwa perjanjian perdagangan di masa depan juga dapat memasukkan klausul keberlanjutan, tetapi menekankan bahwa setiap kesepakatan itu unik dengan tantangannya tersendiri.

Bersamaan dengan itu, sektor kelapa sawit di Indonesia juga bisa bernapas lebih lega setelah mengalami kemunduran akibat kebijakan ekonomi dan kampanye hitam minyak sawit di Eropa.

Juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengakatan bahwa perjanjian perdagangan ini merupakan solusi yang saling menguntungkan bagi industri minyak sawit, untuk Indonesia, Swiss, dan negara European Free Trade Agreement (EFTA), serta petani kecil Indonesia.

“Kami berterima kasih atas hasil pemungutan suara ini. Suara masyarakat Swiss menegaskan bahwa minyak sawit Indonesia berkelanjutan,” katanya, dikutip dari swissinfo.ch.

Hasil referendum ini juga diharapkan dapat membantu meyakinkan negara-negara Eropa lainnya bahwa minyak sawit dari Indonesia adalah yang terbaik di kelasnya. Terkait dengan keberlanjutan, Indonesia juga tengah melawan larangan Uni Eropa atas penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati pada 2021.

Negara-negara produsen kelapa sawit telah lama menghadapi kampanye hitam sawit, terutama oleh negara-negara Eropa. Pemerintah Indonesia pun telah memutuskan untuk bersikap lebih menyerang (offensive) melawan kampanye hitam itu.

Selama ini pemerintah relatif bersikap bertahan atau defensif, dengan fokus pada peran kelapa sawit terhadap perekonomian serta tingginya produktivitas komoditas ini dibandingkan minyak nabati lain. Nantinya pemerintah akan menyerang kelemahan produk minyak nabati lainnya seperi minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari.