Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Achmad Baidowi mempertanyakan urgensi pemerintah melakukan impor beras. Apalagi Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan bahwa produksi beras nasional akan surplus 12,56 juta ton hingga akhir Mei 2021 karena musim panen raya.
Sementara itu data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 54,65 juta ton atau setara dengan 31,33 juta ton beras. Angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 54,6 juta ton GKG yang setara dengan 31,31 juta ton beras.
Sedangkan potensi produksi periode Januari-April 2021 mencapai 14,54 juta ton, naik 26,84% dibandingkan periode yang sama 2020 sebesar 11,46 juta ton.
“Jika produksi beras nasional surplus, apa urgensi impor beras? Apa kebutuhan mendesaknya? Berapa kebutuhan beras nasional kita sehingga pemerintah malah memilih mengimpor beras?,” tanya Achmad Baidowi melalui keterangan tertulisnya, Rabu (17/3).
Untuk itu, dia meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkapkan data-data tersebut secara transparan. Karena menurutnya publik harus tahu data yang valid tentang ketersediaan dan pasokan beras dari petani, serta kebutuhan beras dalam negeri.
“Kemendag jangan buru-buru mengeluarkan izin impor beras. Data komoditas pangan kita masih semrawut, sehingga impor yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada,” kata dia.
Untuk mengatasi karut marut data pangan, Baidowi menilai pemerintah harus membuat data tunggal tentang ketersediaan pangan dan pasokan dari petani dalam negeri.
Tidak hanya produksi beras yang melimpah, Perum Bulog juga tercatat masih memiliki stok beras impor dari pengadaan pada 2018 lalu. Dari total pengadaan 1.785.450 ton beras, masih tersisa 275.811 ton beras yang belum tersalurkan. Dari jumlah tersebut, 106.642 ton merupakan beras turun mutu.
“Beras impor tahun 2018 saja masih banyak dan terancam mengalami penurunan mutu akibat tidak diserap," ujarnya. "Ke depan, pola ini jangan dibiarkan. Serap dulu stok yang ada, karena kalau mengalami penurunan mutu maka tak layak konsumsi sehingga negara rugi.”
Dia menambahkan bahwa impor beras akan menunjukkan anomali terhadap kegiatan produksi pangan yang tidak berjalan maksimal. Untuk memenuhi kebutuhan beras nasional, ia mendorong Pemerintah lebih mengutamakan produksi dalam negeri.
“Semua potensi yang ada perlu dimaksimalkan, termasuk menggandeng instansi BUMN-BUMN pangan untuk semakin meningkatkan jumlah dan kualitas produksi,” katanya.
Bulog dan BPS Tak Dilibatkan dalam Keputusan Impor Beras
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengaku tidak mengetahui keputusan itu lantaran tidak dibahas dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas).
Sebagai informasi, kebijakan impor produk pangan seharusnya diputuskan dalam rakortas yang digelar oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Rakortas tersebut turut mengundang kementerian dan lembaga terkait perdagangan dan pangan.
Sementara, rakortas terakhir yang digelar antar kementerian lembaga hanya membahas prediksi cuaca dan kemungkinan kelangkaan pasokan pangan. Tidak ada keputusan impor beras.
"Hanya kebijakan dari Pak Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan. Pada akhirnya, kami diberi penugasan tiba-tiba untuk laksanakan impor," kata pria yang biasa disapa Buwas itu dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Badan Legislasi DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (16/3).
Senada dengan Buwas, Kepala BPS Suhariyanto juga mengaku tidak diajak membahas rencana impor beras. "Jadi saya kaget, Pak Buwas juga kaget," katanya dalam forum yang sama.
Dalam rapat itu, ia sempat menyinggung potensi cuaca buruk yang bisa berdampak pada penurunan produksi. Namun, potensi puso tidak seburuk yang diperkirakan.
Selain itu, harga beras sangat stabil selama dua tahun terakhir. Oleh karenanya, Suhariyanto menilai impor beras belum diperlukan.