Pemerintah Kebut Implementasi Perjanjian Dagang, Sudah Siapkah RI?

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.
Sebuah kapal tunda bersandar di Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Penulis: Happy Fajrian
24/3/2021, 13.05 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya mempercepat implementasi perjanjian dagang yang telah diselesaikan untuk meningkatkan kinerja ekspor. Salah satunya yaitu perjanjian ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Australia (Indonesia Australia-CEPA).

Oleh karena itu, Kemendag gencar melakukan sosialisasi dan mengidentifikasi produk-produk potensial yang ada di seluruh Indonesia.

“Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, yang penting adalah mempercepat implementasi, realisasi dari perjanjian dagang dalam rangka peningkatan ekspor,” kata Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga saat menghadiri Forum Strategi Pengembangan Ekspor Nasional yang ditayangkan virtual, Selasa (23/3).

Dia menjelaskan bahwa hingga saat ini  Indonesia telah menyelesaikan 22 perjanjian dagang dengan seluruh dunia yang sepatutnya dimanfaatkan oleh para pelaku usaha nasional. Selain itu masih ada 11 perjanjian dagang lainnya yang masih dalam tahap pembahasan.

Untuk IA-CEPA, Jerry mengatakan bahwa peluang ekspor produk Indonesia sangat besar, mengingat terdapat 6.974 pos tarif yang bea masuknya menjadi 0%. “Artinya, ketika kita mau ekspor ke sana, tarifnya semakin memberikan dorongan kepada eksportir kita,” ujarnya.

Wamendag menengaskan perjanjian dagang yang diupayakan pemerintah tersebut akan menguntungkan pengusaha, sehingga ekspor dapat meningkat dan ekonomi RI kian pulih.

“Jadi intinya adalah bagaimana kita membuat sesuatu yang terbaik untuk bisa kita kapitalisasi, utilisasi, dan monetasi hasil dari produk-produk yang diekspor ke Australia,” pungkas Wamendag.

Upaya pemerintah untuk membuka pasar ekspor untuk produk-produk dalam negeri patut mendapatkan apresiasi. Direktur Riset Center Of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan bahwa perjanjian perdagangan ini adalah alat untuk meningkatkan kinerja ekspor, memperkuat transaksi berjalan, dan meningkatkan investasi.

Meski demikian dia menilai dari sekian banyak perjanjian perdagangan yang dijalin Indonesia, hasilnya masih jauh dari target-target tersebut. Transaksi berjalan tidak membaik bahkan terus menurun. Pada2018-19 bahkan transaksi berjalan kita mengalami defisit yang besar.

Komponen transaksi berjalan ini ada empat, neraca perdagangan barang, neraca perdagangan jasa, neraca pendapatan primer dan pendapatan sekunder. Neraca perdagangan barang surplus, namun terus mengecil, bahkan pada 2018 defisit. Sama halnya dengan neraca perdagangan jasa yang selalu defisit.

Defisit lainnya juga terjadi pada neraca pendapatan primer. Ini sangat terkait dengan aliran modal. Sedangkan neraca pendapatan sekunder surplus, salah satunya berkat remitansi dari tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

"Transaksi berjalan tidak membaik, bahkan terus menurun. Pada 2018-2019 bahkan transaksi berjalan kita mengalami defisit yang besar. Kalau kita lihat perjanjian-perjanjian sebelumnya itu belum mampu membuat kinerja ekspor kita lebih baik," ujarnya beberapa waktu lalu (19/3).

Piter tidak mempermasalahkan isi dari tiap-tiap perjanjian dagang yang menurutnya sudah dirancang sebaik mungkin untuk Indonesia. Ia pun memberikan apresiasi tinggi kepada Kemendag yang telah memperjuangkan perjanjian dagang tersebut hingga terwujud. 

Dia mempertanyakan kesiapan Indonesia dalam menyiapkan industri manufaktur yang berdaya saing di pasar ekspor. Menurut dia, hal ini terlihat dari kontribusi industri manufaktur yang terus turun terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

"Semua perjanjian kita isinya bagus, tapi yang kurang adalah kita meliberalisasi perdagangan tapi tidak siap dengan barang dagangannya. Teman-teman di Kemendag asyik membuka pasar tapi barang yang ingin kita jual tidak cukup tersedia," kata Piter.

Akibatnya, Indonesia tidak mampu berjualan di luar negeri, pasar dalam negeri kebanjiran barang impor. Surplus perdagangan barang semakin kecil bahkan negatif besar pada 2018, sedikit membaik pada 2019, tapi tidak cukup untuk menyelamatkan neraca transaksi berjalan.

Oleh karena itu, pemerintah harus meningkatkan kemampuan industri manufaktur untuk berproduksi, meningkatkan regional value chain, mengembangkan linkage dari industri hulu hingga hilir sehingga Indonesia tidak lagi bergantung pada bahan pembantu dan penolong impor. "Ini yang harus kita perbaiki," tukasnya.