Keluhan Pengusaha Harus Bayar Penuh THR Saat Bisnis Belum Pulih

Adi Maulana Ibrahim |Katadata
Sejumlah massa yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi unduk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (12/4/2021). Para burun menuntut upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) 2021 tétap diberlakukan, serta menolak pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) lebaran dengan cara dicicil.
14/4/2021, 11.51 WIB

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mewajibkan pengusaha membayar tunjangan hari raya (THR) secara penuh kepada pekerja. Berbeda dengan tahun lalu, THR juga tak boleh dicicil dan harus dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum lebaran.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, Anton J Supit mengatakan kebijakan pembayaran THR secara penuh dapat menjadi persoalan bagi sebagian perusahaan. Sebab, ada sektor industri yang belum pulih dari dampak pandemi Covid-19.

Dalam edaran Menteri Ida, perusahaan yang tidak mampun membayar THR tujuh hari sebelum hari raya harus berunding dengan pekerja/buruh, dan tetap membayar THR paling lambat satu hari sebelum lebaran.

“Bagi yang tidak mampu bagaimana? Kalau orang sedang kesulitan dana, mau dikasih waktu satu bulan pun belum tentu mampu bayar,” kata Anton kepada Katadata, Senin, (15/4).

Menurutnya, dalam kondisi resesi ini, walaupun ada perusahaan yang sudah bisa mempertahankan bisnisnya, sebagian besar masih mengalami penurunan pendapatan. Terlebih pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan akan selesai.

“Kita ini sedang marathon, bukan sprint. Kita harus jaga nafas. Jadi jangan hanya pikirkan telurnya saja, ayamnya juga harus dijaga jangan sampai mati di tengah jalan,” ujar Anton.

Ia menyarankan pemerintah untuk memberikan fleksibilitas bagi pengusaha yang benar-benar tidak mampu membayar. Tidak hanya diberikan keringanan dengan menunda pembayaran sampai enam hari sebelum hari raya.

“Tapi saya tetap menganjurkan bagi yang mampu membayar jangan sampai ditunda. Karena pengalaman saya, dalam keadaan sulit pun, kalau mereka bisa bayar ya bayar lah,” kata Anton.

Hal serupa juga disampaikan Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran. Ia mengatakan seharusnya kebijakan mengenai pembayaran THR disesuaikan dengan masing-masing sektor usaha. Terutama kondisi di sektor pariwisata yang belum dalam kondisi baik.

“Harusnya jangan dipukul rata seperti ini. Apalagi bagi kami yang ada di sektor pariwisata yang belum recovery sama sekali karena pemerintah sendiri yang menahan pergerakan masyarakat yang menjadi sumber pendapatan kami,” kata Maulana kepada Katadata, Selasa (13/4).

Simak Databoks berikut: 

Ia mengatakan di sektor pariwisata khususnya hotel dan restoran merupakan bisnis yang bergerak sesuai musim dan tergantung pada pergerakan orang. Di tengah pemerintah selalu menahan pergerakan orang, ia menilai kebijakan ini cukup rumit bagi pengusaha hotel dan restoran.

Menurutnya, perusahaan tidak bisa dipaksakan untuk membayar THR, sedangkan pendapatannya selama pandemi lebih kecil daripada pengeluaran. “Jangankan H-7, yang tahun kemarin saja belum tentu semuanya sudah bayar,” kata Maulana.

Maulana menjelaskan bahwa harapan pengusaha terutama di sektor pariwisata sudah pupus saat kebijakan larangan mudik diterbitkan. Ia menambahkan, seharusnya lebaran menjadi momentum bagi pengusaha untuk perlahan bangkit dan menyelesaikan urusan internal mereka dengan tenaga kerja.

“Di sisi tenaga kerja mereka memang membutuhkan THR, namun di sisi pelaku usaha juga tidak ada pendapatan,” ujar dia.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi