Kebiasaan masyarakat memakai baju baru pada momen Hari Raya Idulfitri secara tidak langsung dapat mendorong kinerja industri tekstil. Namun, fenomena itu belum terasa signifikan pada lebaran tahun ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta mengatakan, maraknya penjualan produk pakaian jadi impor jelang lebaran menjadi salah satu faktor menurunnya penjualan produk tekstil dalam negeri.
Redma menyebut, selama periode lebaran ini justru penjualan bahan baku tekstil merosot hingga 30%. “Utilisasi juga turun menjadi 70% untuk serat dan 65% untuk benang. Padahal sebelumnya, utilisasi di Maret 2021 itu hampir 90% untuk polyester dan 75% untuk filamen,” kata Redma kepada Katadata, Senin (17/5).
Redma menjelaskan, pasar tekstil lokal memang terus mengalami penurunan sejak akhir Maret 2021, terutama di hilir seperti tenun dan pakaian jadi. Ia mengatakan, masyarakat lebih memilih membeli pakaian jadi impor secara online dibanding produk tekstil lokal secara offline.
Kondisi ini telah terjadi beberapa tahun terakhir. Simak Databoks berikut:
Menurutnya, industri tekstil belum pulih dari pandemi Covid-19. Namun, pada kuartal I 2021 belum banyak barang impor yang masuk. Dengan demikian, produsen lokal dapat mendominasi pasar.
“Kalau sekarang, marak sekali produk impor, apalagi jelang lebaran. Permintaan terhadap produk tekstil lokal menipis,” katanya.
Redma mengatakan, industri tekstil bisa kembali pulih jika pemerintah dapat membendung serbuan impor. Menurutnya, produk lokal masih sulit bersaing dengan produk impor karena harga pakaian jadi impor yang dijual sangat murah.
Ia mengatakan, permasalahan yang terjadi di sektor tekstil terus berulang dari tahun ke tahun. Dominasi produk pakaian jadi impor belum bisa diatasi dengan baik, sehingga menghambat pertumbuhan produk tekstil lokal.
“Kapanpun momennya, industri tekstil sebenarnya bisa pulih, asal pemerintah mendukung dengan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap produk dalam negeri,” ujarnya.