Menlu Retno Minta Perwakilan Uni Eropa Hentikan Diskriminasi Sawit

ANTARA FOTO/Akbar Tado/rwa.
Pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke atas mobil di Tarailu, Mamuju, Sulawesi Barat, Minggu (23/05/2021). Harga TBS kelapa sawit tingkat petani sejak dua bulan terakhir turun dari harga Rp1.900 per kilogram menjadi Rp1.680 per kilogram yang disebabkan banyaknya produksi.
3/6/2021, 15.04 WIB

Komoditas minyak sawit Indonesia kerap mengalami diskriminasi di pasar Eropa. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membahas hal ini saat bertemu dengan Josep Borrell Fontelles, Perwakilan Tinggi Persatuan Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan (HR/VP) Uni Eropa (UE).

Retno mengatakan, pemerintah Indonesia serius dalam menghasilkan kelapa sawit secara berkelanjutan. Ia menambahkan, pemerintah juga akan terus memperkuat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

"Permintaan Indonesia sederhana, agar kelapa sawit Indonesia diperlakukan secara adil," kata Retno dalam konferensi pers virtual, Rabu (2/6).

Retno menyampaikan, jika melakukan kerja sama ekonomi dan perdagangan yang adil, tidak diskriminatif dan terbuka akan membantu percepatan pemulihan ekonomi.

Sementara itu Borrell mengatakan setuju untuk menangani isu kelapa sawit di Indonesia secara bersama-sama. UE sendiri juga masih mengimpor kekurangan 25% minyak kelapa sawit.

"Saya tahu betapa pentingnya minyak sawit bagi masyarakat Indonesia dalam mengatasi kemiskinan. Kita harus cari solusi yang mengatasi isu keberlanjutan dan ekonomi," kata Borrell.

Selain membahas sawit, keduanya juga  bertukar pikiran mengenai komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi. Retno menegaskan kepada UE bahwa pembangunan hijau dan berkelanjutan merupakan prioritas Indonesia.

Lebih lanjut, Retno menyampaikan, bahwa Indonesia memberikan dukungan penuh bagi kesuksesan KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow yang akan digelar pada November mendatang. Indonesia berharap pertemuan tersebut dapat memberikan ruang bagi pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang. "Indonesia juga terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk transisi energi," kata Retno.

Sebagai informasi, pada Desember 2019 lalu, pemerintah Indonesia menggugat kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi dan membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel Indonesia. Dampaknya, ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa menjadi negatif dan citra komoditas ini terus buruk di perdagangan global.

Kebijakan RED II ini mewajibkan Uni Eropa menggunakan bahan bakar dari energi yang dapat diperbarui mulai 2020 hingga 2030. Kemudian dalam aturan turunannya, Delegated Regulation, minyak kelapa sawit dikategorikan sebagai Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi