Kementerian Perindustrian menilai, berlakunya harga gas industri US$ 6 per MMBTU dapat mendorong daya saing sektor manufaktur dan pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan harga gas bagi industri ini diyakini akan meningkatkan utilitas produksi, nilai ekspor, hingga investasi.
“Penerapan kebijakan gas industri dengan harga tertentu ini sebagai wujud nyata upaya pemerintah dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif,” kata Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin Fridy Juwono dalam keterangan resminya, Kamis (1/7).
Fridy menyebut, dari 176 perusahaan yang menerima harga gas tertentu saat ini, 29 di antaranya sudah melaporkan rencana menambah investasi dengan nilai mencapai Rp 192 triliun. “Terdapat 53 proyek dan beberapa di antaranya akan melibatkan ekspansi dari perusahaan multinasional,” ungkapnya.
Adapun, nilai investasi paling besar berasal dari sektor industri pupuk dan petrokimia dengan 16 proyek dari 11 perusahaan yang nilai investasinya menembus Rp 112,86 trilun. Selanjutnya, sektor industri baja dengan 17 proyek dari enam perusahaan yang nilai investasinya menyentiuh Rp 70,98 triliun.
Rencana investasi lainnya, yakni dari sektor industri oleokimia dengan jumlah lima proyek dari empat perusahaan yang nilai investasinya sebesar Rp 4,54 triliun. “Kemudian ada dari sektor industri sarung tangan karet dengan lima proyek dari tiga perusahaan yang nilai investasinya sebesar Rp 567 miliar,” ujarnya.
Terakhir, dari salah satu perusahaan kaca dengan nilai investasi sekitar Rp 174 miliar. "Dampak lain dari harga gas tertentu ini adalah utilisasi industri kaca yang meningkat hingga 100%, industri keramik 78%, dan industri baja 51,2%,” ujar Fridy.
Selain itu, dari sisi ekspor komoditas oleokimia mencatatkan peningkatan hingga 26% sepanjang 2020. Dari ekspor keramik juga meningkat 25% pada tahun lalu.
Dia menambahkan, Kemenperin sedang mengajukan perluasan implementasi harga gas murah untuk 13 sektor industri. Saat ini, Kemenperin sudah meneruskan dokumen persyaratan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk ditinjau lebih lanjut.
Ke-13 sektor industri tersebut adalah industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah, refraktori, elektronika, plastik fleksibel, farmasi, semen, dan asam amino.
Dari 13 sektor industri tersebut, ada 80 perusahaan yang sedang mengajukan untuk mendapatkan harga gas tertentu dengan alokasi volume gas maksimal 169,64 BBTUD. “Kami sudah mengajukan agar harga gas US$ 6 per MMBTU dapat diperluas ke 13 sektor industri lainnya,” katanya.
Dalam proses pengajuan, Kemenperin mensyaratkan sektor-sektor industri tersebut untuk memberikan penjelasan dan justifikasi apabila mendapatkan harga gas US$ 6 per MMBTU. Artinya, pelaku industri harus dapat memperjelas proyeksi dan kinerja bisnis perihal peningkatan utilisasi, efisiensi, pembayaran pajak, dan terpenting investasi atau ekspansi bisnis setelah mendapatkan gas murah dari pemerintah.
“Inilah syarat yang sudah kami sampaikan kepada asosisasi, kemudian sudah dijawab. Saat ini sedang diteruskan ke Kementerian ESDM untuk dinilai apakah 13 sektor industri tersebut layak diberikan,” ujar Fridy.
Menurutnya, pelaksanaan kebijakan gas industri dengan harga tertentu ke sejumlah sektor industri bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saingnya agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Apalagi, pemerintah membidik target ekspor yang cukup besar dan rencana meningkatkan substitusi impor 35% pada tahun 2022,” tandasnya.