Pengusaha Tembakau Minta Kepastian Terkait Tarif Cukai Rokok

ANTARA FOTO/Syaiful Arif
Pekerja perempuan memasang pita cukai di industri rokok rumahan di Desa Plandi, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (8/1/2020).
2/7/2021, 09.42 WIB

Industri rokok menjadi salah satu sektor yang terpukul pandemi Covid-19. Wacana pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok tahun ini akan semakin memukul industri, terutama produsen dan petani tembakau.

Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar mengatakan bahwa industri hasil tembakau (IHT) berharap ada kebijakan dari pemerintah yang dapat mengurangi beban pelaku industri ini. Salah satunya dengan tidak menaikkan tarif cukai.

Pasalnya pandemi Covid-19 yang berkepanjangan sejak awal tahun 2020, belum terlihat kapan akan berakhir. Bahkan, beberapa pekan terakhir di sejumlah daerah kembali terjadi lonjakan tinggi yang berujung pada pengetatan kembali kegiatan masyarakat.

“Justru yang terjadi saat ini malah meledak lagi dan terjadi pengetatan, produsen mengurangi produksi karena penurunan permintaan konsumen, petani kekurangan serapan permintaan dari sektor hilir. Kami sebagai produsen bisa tetap produksi saja sudah syukur,” kata Sulami dalam siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Kamis (1/7).

Ia mengatakan, secara agregat produksi IHT di segala segmen sepanjang tahun 2020 turun sebesar 9,7%. Adapun perkembangan hingga Mei 2021 tren penurunan produksi masih terjadi di kisaran 4,3% dibandingkan tahun 2020.

Sulami mengatakan tren negatif masih akan terus berlanjut karena pandemi terbukti menurunkan daya beli masyarakat. Bukan tidak mungkin, katanya, penurunan produksi tahun ini lebih tajam dari tahun lalu, karena pengendalian pandemi belum ada hasil yang signifikan.

Ia menyebut, baru-baru ini, pelaku IHT kembali dibuat cemas dengan naiknya isu soal anjuran agar tarif cukai kembali dinaikkan, dan penyederhanaan struktur tarif cukai.

“Kedua hal ini membuat pelaku industri khawatir akan nasib mereka setiap tahunnya, ditambah lagi risiko kehilangan pekerjaan akibat pandemi juga di depan mata,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyatakan, kenaikan cukai dan simplifikasi adalah faktor pendorong besar tekanan industri. Simplifikasi tarif cukai akan paling dirasakan oleh produsen tembakau golongan II dan III, atau yang produksinya belum mencapai tiga miliar batang.

Menurut Henry, jika kembali diberlakukan, di tengah pandemi, efek terbesar adalah hilangnya produsen tembakau. “Kita lihat saja sekarang ini produksi sudah turun, nanti bisa sangat berkurang lagi. Pasti yang akan berguguran duluan golongan II dan III, dan jika demikian, nanti rokok ilegal makin meningkat,” lanjutnya.

Ia juga meminta perlindungan pemerintah ke industri terus ada, termasuk rokok jenis kretek. Misalnya ancaman aturan simplifikasi dan kenaikan cukai yang eksesif.

Dia mengatakan, tidak lama setelah Kementerian Keuangan menaikkan tarif rata-rata cukai rokok tahun 2020 sebesar 23%, jumlah rokok ilegal justru naik hampir 60%.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi