Antisipasi Impor Ayam dari Brasil, Industri Perunggasan Diperkuat

ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
Sejumlah anak Ayam Kalkun berada di dalam alat penetas telur unggas setelah menetas di Desa Undaan Kidul, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (25/2/2021). Indonesia terancam serbuan daging impor asal Brasil bila kalah banding ddi WTO.
22/7/2021, 13.14 WIB

Pemerintah mengingatkan serbuan daging ayam impor dari Brasil tinggal menunggu waktu karena itulah Indonesia akan memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak untuk membendung impor sekaligus  memperkuat industri perunggasan dalam negeri.

Pemerintah Indonesia kini tengah mengajukan banding kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kekalahan dalam gugatan Brasil terkait kebijakan importasi daging ayam ke dalam negeri. 

Sengketa yang disebut dengan DS 484 ini telah berlangsung sejak akhir 2014 hingga sekarang. Proses penyelesaian sempat tertunda selama dua tahun, yakni pada 2016-2018. Kasus sengketa ini kembali diproses setelah masuk ke tahap pemeriksaan oleh original panel dan panel kepatuhan (compliance panel) WTO.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, kemungkinan Indonesia dimasuki impor daging ayam dari Brasil hanya tinggal menunggu waktu mengingat ada kemungkinan Indonesia akan kalah banding.

“Tinggal menunggu waktu, pasar perunggasan dalam negeri akan mulai diintervensi oleh negara lain, khususnya Brasil,” kata Oke dalam webinar, Kamis (22/7).

Sebagai antisipasi kekalahan banding, Oke berharap seluruh pemangku kepentingan akan memperkuat kerja sama serta kolaborasi untuk membendung impor, melindungi sekaligus memperkuat industri perunggasan dalam negeri. Kolaborasi itu juga harus melibatkan peternak rakyat sebagai pemain penting dalam industri perunggasan dalam negeri. Menurut Oke, jika produk olahan ayam dari Brasil benar-benar masuk, maka industri perunggasan di dalam negeri akan terpukul, khususnya peternak rakyat.

Oke mengingatkan kerja sama antar seluruh kepentingan diharapkan bisa menyelesaikan sejumlah persoalan dalam industri perunggasan dalam negeri, seperti masih tingginya harga  pakan dan bibit ayam di dalam negeri masih. 

“Karena begitu diintervensi (impor daging ayam Brasil) kita lebih repot lagi dalam mengatur daya saing dan keberlanjutan industri perunggasan,” ujar dia.

Oke mengatakan, harga pakan ayam broiler pada minggu ketiga bulan Juli berkisar Rp 8.025 per kilogram atau naik 0,75% dibandingkan harga bulan lalu yang berada di atas 10% dari harga acuan. Ia menyebut, kenaikan harga ini disebabkan oleh naiknya bahan baku pakan, baik lokal maupun bahan baku impor.

Kenaikan harga pakan akan berdampak pada harga pokok produksi di tingkat peternak. Menurut Oke, kondisi ini dapat membebani peternak rakyat, mengingat penyediaan pakan saat ini masih berasal dari perusahaan besar sehingga peternak rakyat tidak memiliki daya tawar.

“Apabila kondisi ini tidak segera ditangani, industri perunggasan di skala peternak rakyat yang tergolong UMKM akan terancam dan semangatnya bisa turun,” kata dia.

Untuk mengatasi permasalah tersebut, Kementerian Perdagangan sedang menyiapkan revisi Permendag no 7 tahun 2020, dengan membuat harga acuan ayam hidup yang bergerak dinamis mengikuti perkembangan biaya produksi.

Dengan adanya revisi tersebut maka harga acuan bisa mengantisipasi kenaikan biaya produksi. Revisi permendag tersebut menetapkan rumus/penghitungan harga acuan yang berbasis harga input serta menetapkan koefisien pengali masing-masing komoditi barang kebutuhan pokok.

“Melalui sinergitas antara peternak dan pemerintah ini diharapkan kita bisa menciptakan iklim usaha yang efektif dan efisien, serta lebih bisa berdaya saing,” katanya.

Sebagai informasi, Sejak 2009, Brasil berupaya membuka akses pasar produk unggas ke Indonesia, khususnya ayam dan produk ayam. Namun, Brasil menganggap Indonesia memberlakukan ketentuan dan prosedur yang menghambat masuknya produk tersebut, hingga memutuskan menggugat Indonesia pada 16 Oktober 2014.

Kemudian, putusan panel sengketa DS 484 pun menyatakan empat kebijakan Indonesia melanggar aturan WTO, yakni kebijakan positive list, fixed license term, intended use, dan undue delay. Atas putusan tersebut, Indonesia wajib melakukan penyesuaian kebijakan untuk mengakomodasi putusan WTO.

Seiring berjalannya waktu, panel sengketa original dan kepatuhan memutuskan bahwa Indonesia masih ada dua kebijakan yang belum sesuai dengan ketentuan WTO, yaitu intended use, dan undue delay.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi