Mahal & Kurang Kuat, Rokok Mild Ditinggal Banyak Konsumen Saat Pandemi

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen yang berlaku pada 2021.
Penulis: Maesaroh
26/8/2021, 19.00 WIB

Pandemi Covid-19 tidak hanya mengubah cara hidup seseorang dalam bekerja, belajar, dan beribadah tetapi juga dalam menentukan pilihan rokok. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menunjukan preferensi merokok orang Indonesia selama pandemi beralih ke rokok full flavour karena lebih murah dan dianggap lebih 'mengenyangkan'.

"Dalam situasi pandemi yang paling terpengaruh itu daya beli. Kalau daya belinya turun, mereka akan pilih rokok yang murah. Dengan harga rokok (mild) yang semakin tinggi maka akhirnya untuk menekan pengeluaran, mereka pilih full flavour," tutur Direktur Teknis dan Fasiltas Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, saat konferensi pers virtual, Kamis (26/8).

Seperti diketahui, pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 12,5% rata-rata tertimbang. Kenaikan tertinggi ada di golongan SPM yakni berkisar antara 16,5-18,4% sementara SKM naik sebesar 13,8-16,9%. Kenaikan tarif cukai tersebut berimbas langsung kepada harga jual eceran pada golongan SPM, yang didominasi rokok mild.

Selain harga yang terus melonjak, pergeseran selera juga mempengaruhi preferensi orang untuk memilih rokok selama pandemi.

"Sekarang orang ingin dapat rokok yang lebih mengenyangkan. Sebetulnya kalau orang merokok kan memenuhi kebutuhan nikotin. Bayangkan kalau rokok full flavour itu butuh sebatang tapi kalau rokok mild butuh ekuivalen 3-4 batang (untuk memenuhi kebutuhan nikotin)," tambahnya.

Flavour atau perisai/penyedap dalam rokok yang paling umum dipakai adalah cengkeh. Rokok  full flavour mengandung tar dan nikotin lebih tinggi dibanding rokok mild.  Gudang Garam dan Djarum merupakan produsen paling terkenal dari jenis rokok full flavour  sementara HM Sampoerna merupakan perusahaan yang paling banyak menawarkan jenis rokok mild di Indonesia.

KOMODITAS TEMBAKAU HANG DAN JANTUR (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)



Berdasarkan  data Bea dan Cukai pada periode Januari-Juli, terjadi peningkatan produksi untuk jenis sigaret kretek tangan (SKT) maupun sigaret kretek mesin (SKM). Sebaliknya, produksi sigaret putih mesin (SPM) turun.  

Sepanjang Januari-Juli 2021, produksi rokok SKT mencapai 44,7 miliar batang, naik 10,6% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dalam periode yang sama, jumlah produksi rokok SKM mencapai 126,6 miliar batang, meningkat 0,6%. Sebaliknya, produksi rokok SPM turun 5,1% menjadi 6,3 miliar batang.

Secara keseluruhan, produksi rokok pada Januari-Juli mencapai 177,66 miliar batang atau naik 2,8% dibanding periode yang sama tahun lalu yakni 172,92 miliar batang.  Kenaikan produksi rokok ini menariknya terjadi di tengah pandemi saat konsumsi masyarakat secara keseluruhan turun. 

Namun, fenomena kenaikan konsumsi rokok di tengah krisis memang bukan hal yang baru. Saat krisis moneter menghantam Indonesia pada tahun 1997/1998, pendapatan dari cukai rokok justru meningkat tajam. Pada saat itu, negara memperoleh pendapatan cukai sebesar Rp 5,01 triliun rupiah, 123% dari target yang ditetapkan yakni Rp 4,43 triliun rupiah.

Penurunan produksi dan penjualan rokok SPM juga tercermin dari menurunnya laba bersih PT HM Sampoerna. Pada Semester I tahun 2021, perusahaan tersebut mengumpulkan laba Rp 4,13 triliun, anjlok 15,3% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

"Di situ kelihatan beberapa produsen yang tidak punya unggulan seperti full flavour itu turun (produksinya)," tutur Nirwala.

Penurunan konsumsi rokok SPM membuktikan jika tarif cukai rokok berandil besar terhadap pilihan rokok. Kampanye rokok mild lebih rendah nikotin dan lebih sehat juga belum bisa menarik mayoritas perokok di Indonesia.

"Kecuali konsumen rokok kita sudah sultan semua dan punya daya beli yang tidak terbatas serta memiliki kesadaran tinggi maka kenaikan tarif cukai tidak berpengaruh," ujarnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk umur lima tahun ke atas yang merokok mencapai 23,21% pada 2020, atau sekitar 64 juta jika merujuk pada populasi Indonesia yang mencapai 275 juta. Dengan jumlah konsumen sebanyak itu tidak heran jika kemudian rokok menjadi penyumbang ke empat inflasi Indonesia pada tahun lalu di bawah emas, cabai merah, dan minyak goreng.