Indonesia akan Memimpin Pasar Perdagangan Karbon Dunia

ICDX
Penulis: Doddy Rosadi - Tim Publikasi Katadata
30/8/2021, 12.38 WIB

Berdasarkan Perjanjian Paris, setiap negara memutuskan apa tanggung jawabnya, melalui Nationally Determined Contributions (NDC) untuk menetapkan aksi ketahanan iklim apa yang akan mereka ambil. Dalam NDC, Indonesia telah berjanji untuk menstabilkan emisi karbonnya, dan bahkan menguranginya jika mendapat dukungan finansial.

Untuk memenuhi NDC dan pada saat yang sama mempertahankan pertumbuhan ekonomi, Indonesia harus beralih ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, menggunakan energi secara lebih efisien, dan menghentikan kebakaran hutan yang berulang. Penetapan harga karbon merupakan komponen penting untuk melengkapi paket kebijakan yang diperlukan, yang dapat berupa pajak karbon.

Membebankan harga yang sesuai nilai dampak dari emisi gas rumah kaca akan mahal, tetapi biaya tersebut dapat diminimalkan. Menurut Bank Dunia, menggunakan mekanisme pasar memungkinkan perdagangan karbon dapat mengurangi biaya mitigasi perubahan iklim lebih dari 30 persen, dan jika pasar internasional yang tepat dapat diciptakan, ini dapat mengurangi biaya mitigasi global lebih dari 50 persen.

Hal ini karena perdagangan karbon, khususnya jika terdapat bursa karbon yang terorganisir, keduanya memberi insentif dan memungkinkan perilaku yang memastikan bahwa pengurangan emisi dicapai dengan biaya serendah mungkin. Konkritnya, pasar terorganisir melalui bursa komoditi khusus karbon dapat memainkan dua peran utama.

Pertama, seperti yang dilakukan di Eropa, bursa karbon dapat mengatur proses alokasi dan lelang "kuota polusi" (umumnya disebut "carbon allowances") kepada perusahaan yang harus mulai membayar emisi gas rumah kaca mereka (atau yang disebut kebijakan karbon “cap-and-trade”), dan mengatur logistik perusahaan-perusahaan tersebut yang kemudian memberikan carbon allowances untuk membayar emisi aktual mereka.

Kedua, bursa komoditi dapat menyediakan infrastruktur di mana perusahaan dapat membeli, menjual, menyimpan, mengelola risiko harga, memperoleh pembiayaan, dan sebaliknya menangani penyisihan karbon. Saat ini, infrastruktur terbesar seperti itu ada di Eropa, tetapi China juga sudah memulai bursa karbonnya pada Juli 2021 dan segera akan menyusul volume pasar Eropa.

Secara sederhana, carbon offset adalah bukti terdokumentasi bahwa karbon telah ditangkap dari atmosfer dengan satu atau lain cara. Misalnya, jika hutan mangrove dikelola dengan baik, maka dapat menyerap 2-3 ton karbon per tahun. Hutan lahan kering yang dikelola dengan baik (yaitu, di mana kebakaran hutan dikendalikan secara ketat) dapat menyerap sekitar 26 ton karbon per tahun. Jika penyerapan karbon ini dilakukan dengan baik, mereka dapat dijual, baik di mandatory market atau voluntary market.

Voluntary market adalah tempat perusahaan yang telah membuat komitmen nol-karbon membeli offset mereka, dan banyak perusahaan terbesar dunia sekarang menjadi bagian dari gerakan ini. Indonesia, bersama dengan Brasil, memiliki potensi terbesar di dunia untuk menghasilkan carbon offset, jauh lebih besar daripada negara lain.

Jika seluruh pihak bekerja sama, Indonesia dapat menghasilkan carbon offset pada tingkat yang melebihi komitmen NDC yang adil, dan dapat menjualnya ke seluruh dunia. Sebuah laporan pemerintah Indonesia tahun 2018 menyatakan bahwa Indonesia dapat menghasilkan 500 juta ton offset per tahun – dan ini dengan asumsi harga yang agak rendah, dengan offset yang dihasilkan sebesar USD2 per ton CO2 (lebih banyak proyek offset bisa dijalankan bila dengan biaya yang lebih tinggi). Berapa nilainya akan tergantung terutama pada tindakan pemerintah. Pemerintah terakhir menerima USD5 per ton, di bawah proyek REDD+.

Di mandatory market Eropa, harga sekarang berada di USD65 per ton, dan di voluntary market, harga diharapkan meningkat menjadi setidaknya USD20 pada tahun 2030, dan USD50 pada tahun 2050. Untuk memperoleh harga yang menarik di voluntary market, pemerintah dapat memanfaatkan bursa komoditi yang sudah ada untuk mulai beroperasi, menawarkan berbagai layanan yang dibutuhkan oleh produsen carbon offset Indonesia dan pembeli mereka (seperti fungsi penyimpanan yang efisien serta kontrak berjangka).

Sementara itu, untuk dapat menjual ke mandatory market internasional dengan harga tertinggi, Indonesia akan membutuhkan bursa komoditi domestik untuk mengumpulkan penawaran dan permintaan, serta kebijakan iklim yang dianggap adil dan efektif oleh masyarakat internasional.

Kesimpulannya, dengan memanfaatkan kekuatan bursa komoditi yang terorganisir, Indonesia dapat meminimalkan biaya adaptasi iklim dan memaksimalkan peluangnya. Harus diakui bahwa menyiapkan dan mengelola bursa seperti yang disebutkan mahal. Tetapi Indonesia tidak perlu membuat bursa baru – infrastruktur bursa yang diatur sudah ada di Indonesia, dan dapat bergerak ke pelaksanaan lelang carbon allowances serta mandatory market dan voluntary market yang sangat cepat.

Sebagai bursa komoditi, ICDX akan berpartisipasi mewujudkan pasar perdagangan karbon yang adil dan transparan di Indonesia. Kredit karbon sendiri secara internasional diakui sebagai komoditas. Dengan ekosistem dan infrastruktur yang dimiliki, ICDX akan menyempurnakan pasar karbon Indonesia dan memaksimalkan potensinya di skala internasional. Indonesia harus bergerak cepat. Waktu yang hilang adalah peluang yang terbuang, sehingga yang dirasakan hanya beban pajak karbon, dan proyek carbon offset yang berdampak tinggi di daerah pedesaan Indonesia, khususnya di provinsi-provinsi terpencil, akan tetap tidak terealisasi.