Tidak Mau Terlena Lonjakan Harga Komoditas, Ekspor Manufaktur Digenjot

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.
Pekerja memproduksi lemari pajangan bertema "Box Telephone" di Industri Furnitur Kebon Besar, Tangerang, Banten, Jumat (5/2/2021). Produsen tersebut mampu memproduksi lemari pajangan untuk pasar ekspor Inggris itu sebanyak 2.000 unit per bulan.
15/9/2021, 13.08 WIB

Kenaikan harga komoditas dalam beberapa bulan terakhir melambungkan nilai ekspor Indonesia pada tahun ini. Namun, pemerintah meyakinkan Indonesia tidak akan mengulang kesalahan sama di masa lalu dengan terlalu menggantungkan ekspor ke komoditas semata.  Indonesia akan tetap menggenjot sektor manufaktur sebagai andalan ekspor untuk masa depan.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri mengatakan, bahwa saat ini komoditas tengah memasuki periode supercycle, yakni periode lonjakan permintaan untuk beragam komoditas, yang menyebabkan lonjakan harga.

Periode supercycle komoditas pernah terjadi pada tahun 2011. Kenaikan harga komoditas pada saat itu mampu melambungkan ekspor Indonesia ke level di atas US$200 miliar untuk pertama kalinya.

Data ekspor pada tahun ini juga mirip dengan apa yang terjadi 10 tahun lalu. Kenaikan harga komoditas seperti sawit, tembaga, dan batubara membuat ekspor Indonesia menyentuh level US$21 miliar pada Agustus 2021 atau yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.

Secara keseluruhan, ekspor Indonesia tercatat US$142 miliar pada Januari-Agustus 2021, naik 37,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Faktor komoditi menyokong ekspor seperti yang terjadi saat ini. Yang menjadi catatan kita  adalah berubahnya struktur ekspor kita, bukan hanya komoditi saja tapi juga produk berbasis manufaktur. ” kata Kasan dalam UOB Economic Outlook 2022, Rabu (15/9).

Sebagai catatan, saat booming komoditi pada 2011, Indonesia tidak banyak melakukan sejumlah upaya hilirisasi produk komoditas sehingga saat harga turun, ekspor juga turun tajam. Proses hilirisasi baru mulai digalakkan secara signifkan pada tahun 2014 , salah satunya dengan pembangunan smelter.

Data Kementerian Perdagangan menunjukan meskipun komoditas masih menjadi penyumbang  terbesar ekspor tetapi beberapa sektor manufaktur juga membukukan nilai ekspor dalam jumlah besar. 

Dari 10 besar penyumbang terbesar ekspor pada Januari-Juli, terdapat produk elektronika, produk kimia, kendaraan bermotor dan suku cadangnya, alas kaki, dan perhiasan.

Produk manufaktur juga mendominasi kelompok 11-20 penyumbang terbesar ekspor seperti produk mesin dan peralatan, produk kayu, tekstil dan produk tekstil, kimia organik, alas kaki, seafood serta mebel.

Peningkatan ekspor manufaktur ini merupakan upaya Indonesia untuk mencegah kehilangan peluang dan pendapatan dari sektor lain di tengah kenaikan harga komoditi .

“Jadi saya rasa kita tidak terlena dengan kenaikan harga komoditi karena supercycle ini, sekarang kita bergerak pada hilirisasi termasuk sektor industri manufaktur. Kita tidak akan terlena. Kita akan bergerak paralel ke ekspor berbasis manufaktur supaya kita tidak loss revenue dari kenaikan harga komoditi,"ujar Kasan.

Saat ini, ekspor produk-produk berbasis manufaktur menjadi sebuah keharusan karena pasar dan rantai pasok yang mulai bergerak kembali seiring dengan pemulihan negara-negara dari pandemi Covid-19.

Beberapa produk bahkan sudah mengalami peningkatan permintaan yang signifikan selama pandemi Covid-19 yakni, elektronik, medical goods terutama obat-obatan dan vaksin, serta produk industri tekstil.

Selain itu, pasar otomotif juga sudah kembali bergairah, mengingat industri otomotif merupakan salah satu sektor yang rantai pasoknya sangat terdampak karena adanya pembatasan-pembatasan mobilitas dan krisis cip semikonduktor.

Kasan menyebut, kenaikan harga komoditi supercycle akan bergantung pada pemulihan ekonomi di negara-negara utama tujuan ekspor, yakni Cina, Amerika Serikat, Jepang, India, Singapura, Filipina, Korea Selatan, Vietnam, dan Thailand.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi