Setelah Dua Bulan Loyo, PMI Manufaktur Indonesia ke Fase Ekspansif

ANTARA FOTO/UMARUL FARUQ
Pekerja memproduksi lampu tenaga surya hemat energi saat peresmian pabrik PT Santinilestari Energi Indonesia di kawasan Ngerong, Gempol, Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (25/7/2019). Pabrik yang bergerak dalam industri manufaktur energi terbarukan tersebut mengembangkan berbagai produk bidang pembangkit energi listrik dengan pemanfaatan energi matahari dan memproduksi peralatan elektronik khususnya "Solar Smart Charge Controller".
Penulis: Maesaroh
1/10/2021, 09.25 WIB

Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia melonjak ke level 52,2 di bulan September. Angka ini sekaligus menandai manufaktur Indonesia sudah kembali ke fase ekspansif setelah mengalami kontraksi pada Juli dan Agustus.

 Tahap ekspansif sektor manufaktur ditandai oleh angka PMI yang berada di atas 50. PMI Manufaktur tercatat 43,7 di bulan Agustus sementara di Juli sebesar 40,1.

Dalam laporannya, IHS Markit mengatakan penurunan kasus Covid-19 serta pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) membuat sektor manufaktur Indonesia kembali bergairah.

"Baik output manufaktur ataupun permintaan baru meningkat setelah dua bulan mengalami penurunan tajam. Namun rantai pasokan masih berada di bawah tekanan yang menyebabkan naiknya tekanan harga bagi perusahaan manufaktur,"tulis IHS Markit.

 IHS Markit mengataka penumpukan pekerjaan serta masih terbatasnya perekrutan tenaga kerja di sektor manufaktur masih berlanjut di bulan September. Kendati demikian, secara keseluruhan, sentimen di sektor manufaktur masih positif.

"Secara keseluruhan, tingkat ekspansi  di semua sektor tergolong sedang  namun masih dalam batas di atas rata-rata untuk jangka panjang," tutur IHS Markit.

Seperti diketahui,  jumlah kasus baru  Covid-19 yang dilaporkan pada bulan September terus mengalami penurunan. 

Pada Kamis (30/9), Indonesia melaporkan adanya tambahan kasus sebanyak 1.690, jauh lebih rendah dibandingkan puncaknya pada 15 Juli yakni 56.757 kasus. Pada awal Agustus, tambahan kasus Covid masih berada di level 30 ribu per hari.

Menyusul turunnya kasus pemerintah melakukan sejumlah pelonggaran seperti mengizinkan kantor non-esensial buka 25% serta perusahaan berorientasi ekspor beroperasi 100%.

 "Permintaan telah hidup kembali. Namun permintaan ekspor masih lemah pada bulan September. Gangguan akibat adanya pandemi COVID-19 dan kesulitan pengiriman terus mempengaruhi permintaan ekspor,"tutur IHS Markit.

Kesulitan pengiriman menyebabkan makin menumpuknya pekerjaan sehingga waktu pengiriman dari pemasok semakin panjang di bulan September

Sektor ketenagakerjaan juga masih terhambat oleh  COVID-19 meskipun permintaan baru telah membaik. Perusahaan yang disurvey terus melaporkan adanya pengunduran diri ataupun PHK akibat COVID-19 .

Tekanan harga di sektor manufaktur juga masih terjadi di bulan September. Meskipun tingkat inflasi biaya input sedikit menurun sejak bulan Agustus, namun tingkat inflasi tergolong masih tinggi karena adanya kenaikan biaya bahan baku.

"Akibatnya, perusahaan manufaktur terus membebankan sebagian biaya ini kepada klien, dengan inflasi harga output terus meningkat cepat selama hampir tiga tahun," kata IHS Markit.

 Meskipun masih ada gangguan pasokan dan pembatasan mobilitas, perusahaan manufaktur Indonesia tetap optimis mengenai proyeksi produksi 12 bulan mendatang dengan harapan situasi COVID-19 akan membaik. 

PMI Indonesia sempat berada di bawah level 50 sepanjang Maret 2020 hingga Oktober 2020, kecuali pada bulan Agustus 2020 di mana PMI sempat menyentuh level 50,8. PMI Indonesia bahkan menyentuh level terendah sepanjang sejarah pada April 2020 dengan angka hanya mencapai 27,50 poin.

PMI Mulai membaik menjelang awal tahun 2021 dan bahkan mencapai rekor baru di Mei tahun ini di level 55,3.