Industri alas kaki Indonesia mulai dibayangi oleh krisis energi yang terjadi di Cina. Mereka mengkhawatirkan krisis energi dan pemadaman listrik di negara tersebut akan mengganggu pasokan bahan baku dari Cina.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan pihaknya mulai mengkhawatirkan kelancaran pasokan bahan baku untuk beberapa bulan ke depan, meski pesanan eksisting bahan baku saat ini belum terkendala.
“Misalnya sepatu, jika ada satu komponen yang tidak kita terima karena tidak dikirim dari Cina maka kita tidak bisa produksi, walaupun itu komponen kecil, ya kita pasti akan kesulitan produksi,” kata Firman kepada Katadata, Selasa (5/10).
Namun, ia memastikan sampai saat ini produksi masih berjalan dengan lancar. Dia mengakui adanya gangguan di beberapa komponen, namun menurutnya gangguan tersebut masih bisa diatasi dengan bernegosiasi kepada supplier untuk memenuhi kebutuhan industri.
“Sementara produksi masih lancar, memang ada sedikit gangguan tapi masih bisa atasi dengan baik, masih bisa kita nego ke supplier. Tapi untuk next ordernya ini belum ada kepastian, apakah mereka bisa memenuhi tenggat waktunya atau tidak. Karena mereka juga dibatasi jam kerjanya,” ujar dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa saat ini industri alas kaki dalam negeri sedang memasuki fase tumbuh dan pemulihan dari pandemi. Sudah ada beberapa pabrik alas kaki yang melakukan perluasan kapasitas seperti di Jawa Tengah, Majalengka dan Cirebon, Jawa Barat.
Selain itu, industri alas kaki juga merasakan euphoria limpahan permintaan akibat lockdown di Vietnam. Namun, Firman tidak memberikan keterangan detil berapa peningkatan permintaan yang diterima industri alas kaki dalam negeri.
“Kita belum tau seberapa besar kenaikan permintaan karena lockdown Vietnam ini, karena bercampur juga dengan adanya peningkatan investasi,” kata dia.
Industri alas kaki merupakan salah satu andalan ekspor Indonesia. Namun, industri tersebut juga mengimpor bahan baku dari sejumlah negara termasuk Cina.
Pada tahun 2020, ekspor produk alas kaki mencapai US$4,8 miliar, naik 3,1% dibandingkan pada tahun 2019.
Sebagai informasi, krisis listrik yang terjadi di Cina membuat pabrik-pabrik eksportir terbesar dunia dipaksa untuk menghemat energi dengan membatasi jumlah produksi.
Dilansir dari Bloomberg, setidaknya 20 dari 34 provinsi di wilayah Cina mengumumkan pemadaman listrik. Pemadaman ini sebagian besar ditargetkan untuk pengguna industri berat. Ke-20 provinsi tersebut menyumbang 66% terhadap produk domestik bruto (PDB) Cina.
Pemadaman merupakan imbas dari kenaikan harga batu bara serta ambisi Cina untuk mengurangi emisi gas kaca.
Harga batu bara yang tinggi menyebabkan perusahaan pembangkit listrik memangkas output meskipun permintaan melonjak. Di sisi lain, beberapa daerah secara proaktif menghentikan aliran listrik untuk memenuhi tujuan emisi dan intensitas energi.