Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk segera mengeluarkan aturan tegas untuk pelabelan produk bebas Bisphenol A (BPA).
Langkah tersebut dilakukan mengingat masifnya penggunaan bahan kimia BPA dalam pembuatan plastik.
Sebagai informasi, Bisphenol A (BPA) adalah bahan kimia yang umum digunakan sebagai bahan baku dalam pembentukan plastik polikarbonat, pemlastis dalam produksi resin epoksi.
Juga, aditif untuk menghilangkan kejenuhan asam hidroklorat selama produksi plastik polivinil klorida (PVC). Selain itu, BPA juga digunakan untuk melapisi bagian kemasan dari makanan kalengan.
“Terkait aturannya sampai saat ini tidak jelas. Kami sudah bersurat dua kali kepada BPOM untuk meminta dukungan dengan memberikan tanda (label) yang bisa dipahami oleh masyarakat,” kata Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dalam sebuah webinar, Rabu (13/10).
Arist mengatakan, label free BPA sangat diperlukan karena dampak dari penggunaan zat tersebut cukup berbahaya bagi perkembangan tumbuh kembang anak termasuk mengganggu hak anak atas kesehatan dan hak hidup anak.
Ia meminta kepada BPOM dan Kementerian Kesehatan untuk tidak hanya mempercepat pembuatan regulasi terkait penggunaan BPA pada kemasan pangan atau botol susu bayi tapi juga mensosialisasikan kepada masyarakat terkait bahaya dan dampak yang ditimbulkan dari zat kimia tersebut.
“Saya kira tidak bisa lagi kita hanya berdebat saja soal ini. Kita harus bahu membahu untuk meniadakan BPA yang dapat mengancam kesehatan dan hak hidup anak-anak kita,” ujar dia.
Lebih lanjut, pihaknya juga telah mengupayakan sosialisasi yang masif kepada masyarakat khususnya ibu rumah tangga untuk memberikan informasi terkait bahaya penggunaan BPA.
“Dalam perspektif perlindungan anak, tidak ada toleransi terhadap BPA bagi kesehatan balita, janin, bahkan ibu mengandung,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar mengatakan, selain pada terkandung dalam Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), BPA juga banyak terkandung di botol susu bayi, peralatan makan dan sebagian besar kaleng makanan dan minuman.
Pemanasan yang berulang dari plastik polikarbonat dapat dapat menyebabkan larutnya BPA ke dalam pangan.
Oleh karena itu, bayi dapat menelan BPA dosis ganda, yang berasal dari botol susu dan lapisan timah kaleng susu bubuk yang dikonsumsi.
“Angka ASI ekslusif di Indonesia adalah 50,2%, jadi risiko penggunaan plastik ini kemungkinan besar terjadi. Karena pada umumnya, anak bayi yang tidak menyusu langsung pasti akan menggunakan botol bayi untuk menyusu,” kata Nia.
Sebelumnya, BPOM mengatakan, tengah menyusun kebijakan terkait ancaman bahaya senyawa BPA pada kemasan makanan dan minuman, khususnya air minum dalam kemasan (AMDK).
“Saat ini BPOM sedang menyusun policy brief tentang pengkajian resiko BPA dalam air minum dalam kemasan (AMDK) yang disusun sesuai dengan standar yang dimulai dari pembahasan review persyaratan produk dalam label AMDK,” kata Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (6/10).
Rita mengatakan, pihaknya sudah melakukan review persyaratan produk dan label AMDK sejak Maret 2021, kemudian menyusun kebijakan sinkronisasi regulasi dan standar.
Nantinya akan tersusun policy brief pengkajian risiko BPA dalam AMDK dan penilaian kembali batas maksimal migrasi BPA pada kemasan galon plastik.
Pengkajian dilakukan dengan menguji kandungan BPA dalam AMDK dan menghitung paparannya untuk mengetahui apakah kandungan tersebut masih dalam batas aman atau tidak bagi konsumen, terutama yang termasuk dalam kelompok rentan.
Selain itu, pengujian terhadap kemasan polikarbonat juga dilakukan untuk menetapkan apakah peraturan batas maksimal migrasi BPA pada kemasan galon polikarbonat sebesar 0,6 bpj sesuai dengan Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Kemasan Pangan.