Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, kenaikan harga kapas di pasar internasional tidak akan berdampak langsung terhadap industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri.
Pasalnya, produksi tekstil untuk kebutuhan domestik selama ini sudah menggunakan bahan baku pengganti kapas seperti polyester dan rayon yang dapat diproduksi dalam negeri.
Selain itu, Redma mengatakan, harga bahan baku pengganti seperti polyester dan rayon relatif lebih murah dibanding kapas.
Berdasarkan catatan APSyFI, harga kapas saat ini mencapai US$ 2,28 per kilogram, sedangkan polyester US$ 1,16 per kilogram dan rayon sebesar US$ 1,8 per kilogram.
"Kenaikan harga kapas dunia tidak berpengaruh signifikan terhadap industri TPT nasional karena sudah bisa disubstitusi oleh polyester dan rayon," kata Redma dalam konferensi pers virtual, Jumat (15/10).
Kenaikan harga kapas juga tidak berimbas secara siginifikan terhadap kenaikan harga pakaian jadi dan produk tekstil lainnya di pasar domestik.
Saat ini, penggunaan polyester dan rayon pada produk tekstil telah menggantikan dominasi penggunaan kapas dalam konsumsi serat dunia.
Hal serupa juga terjadi pada konsumsi serat dalam negeri, di mana pada 2008 konsumsi serat nasional mencapai 1,87 juta ton dengan konsumsi serat kapas sebesar 37% dan rayon hanya 11%.
Kemudian pada 2019, di mana konsumsi serat nasional mencapai 2,15 juta ton dengan konsumsi serat kapas yang sudah menurun menjadi 28% dan konsumsi serat rayon menjadi 17%.
"Jadi pangsa pasar kapas di dalam negeri itu semakin lama semakin mengecil dan disubstitusi oleh rayon dan polyester. Ini yang membuat kita tidak khawatir dengan adanya kenaikan harga kapas karena memang trennya sudah bisa kita subtitusi perlahan," kata dia.
Sementara itu, Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengapresiasi upaya para pelaku industri TPT yang mulai memanfaatkan bahan baku dalam negeri.
Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang menargetkan substitusi impor sebesar 35% pada 2022 mendatang.
Elis menjelaskan, pada industri tekstil ada 535 pos tarif yang disubstitusi oleh bahan baku dalam negeri.
Enam pos tarif adalah pos tarif fiber yang salah satunya adalah serat kapas yang disubtitusi oleh polyester dan rayon yang dapat dimodifikasi menyerupai serat kapas.
Kemudian 15 pos tarif untuk produk benang, 319 pos tarif produk kain, 96 pos tarif produk pakaian jadi dan 112 pos tarif untuk barang tekstil lainnya, seperti karpet dan sebagainya.
Saat ini capaian substitusi impor di industri tekstil pada semester I 2021 sudah mencapai 15% untuk serat, kemudian 15% untuk benang, kain lembaran sebesar 7,5%, pakaian jadi 16%, tekstil lainnya 31,7%.
"Kami terus memantau program substitusi impor ini setiap tiga bulan sekali. Selain itu, kami juga mengintegrasikan antara produk hulu dengan hilir, bahkan ke buyer atau para desainer dan ritel agar program substitusi impor ini berhasil," kata dia.
Sebagai informasi, pada akhir Septemer lalu, harga kapas berjangka melonjak melampaui US$ 1 per pon untuk pertama kalinya dalam hampir satu dekade terakhir. Lonjakan harga dipicu cuaca buruk dan hambatan pengiriman.
Dilansir dari Bloomberg, harga kapas melonjak 28% sepanjang tahun ini karena permintaan yang tinggi terutama dari Cina, ditambah dengan gangguan pasokan akibat pandemi dan gangguan logistik yang dipicu oleh naiknya biaya pengiriman.
Lonjakan harga ini dikhawatirkan akan berpengaruh kepada naiknya harga pakaian jadi seperti celana jeans, kaos, dan produk pakaian jadi lainnya.