Konsultan Dunia BCG Ungkap Kajian Minus Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Nama Boston Consulting Group (BCG) kembali muncul dalam perdebatan terkait proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Konsultan asal Amerika Serikat tersebut dikabarkan menolak proposal kajian yang diajukan Cina pada 2015 lalu.
Ekonom senior asal Universitas Indonesia Faisal Basri pada Rabu (14/10) mengatakan, Boston Consulting Group dibayar US$150 ribu untuk mereview proposal Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang diajukan pemerintah Cina dan Jepang.
Menurut dia, kajian yang dilakukan Boston Consulting Group menolak proposal proyek yang diajukan Cina.
Namun, Menteri BUMN pada saat itu, Rini Soemarno tetap bersikukuh merealisasikan proyek kolaborasi Cina dan Indonesia tersebut.
Seperti diketahui, pada Agustus 2015, pemerintah menunjuk BCG sebagai konsultan untuk mengkaji proposal yang diajukan Cina dan Jepang terkait proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Proposal Jepang mensyaratkan keikutsertaan pemerintah, termasuk jaminan, dalam membangun proyek tersebut.
Sebaliknya, proposal dari Cina tidak menyertakan keikutsertaan pemerintah dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Kepada Katadata.co.id, tim BCG membenarkan jika mereka tidak menyepakati kajian yang diajukan salah satu proposal. Kendati demikian, mereka menolak menyebut proposal mana yang ditolak tersebut.
BCG menjelaskan tidak adanya dukungan pemerintah menjadi catatan khusus mereka dalam mengkaji proposal kedua negara.
"Pada saat kami melakukan review dua proposal, memang banyak pertanyaan dari proposal salah satu negara terutama yang mengatakan pasti tidak butuh dukungan pemerintah. Tim BCG mempertanyakan itu karena berdasarkan pengalaman kami, proyek kereta cepat butuh government support,"tutur sumber BCG, kepada Katadata.co.id, Jumat (15/10).
Dalam catatan Katadata.co.id, BCG memiliki rekam jejak sebagai konsultan sejumlah proyek kereta api termasuk proyek kereta milik Transport Asset Holding Entity di New South Wales, Australia.
"Pengalaman BCG menunjukan meskipun kereta cepat baik secara ekonomi tetapi dari sisi finansial menantang. Proyek ini pasti butuh government support. Jadi ini memang menjadi pertanyaan, asumsi tidak pakai government support,"tuturnya.
Tim BCG menambahkan asumsi dari salah satu proposal yang memungkinkan tidak adanya dukungan pemerintah salah satunya karena terkait lahan yang dipakai.
Seperti diketahui, PTPN VIII memberikan sebagian lahan mereka di Kabupaten Bandung Barat dalam proyek kereta cepat. PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) akan menggunakan lahan tersebut untuk kawasan Transit Oriented Development.
"Sebenarnya asumsi itu kalau kita baca dengan teliti, (tanah) bukan ranahnya bisnis saja tetapi ada juga pemerintah untuk menyediakan,"tutur BCG.
Selain persoalan dukungan pemerintah, kajian BCG juga terkait pengalaman dan teknologi kereta cepat yang dimiliki Jepang dan Cina. Namun, fokus kajian utama BCG lebih kepada persoalan kemampuan keuangan.
"Kami lihat jumlah kecelakaan, teknologi, berapa lama mereka sudah bermain, compatibility-nya. Itu kan semua faktanya bisa dicari. Namun yang menjadi penekanan dari kami itu financial stability," tuturnya.
BCG mengatakan dalam rapat yang dihadiri tujuh menteri, sebagian besar menyetujui rekomendasi dan analisa yang diberikan oleh BCG.
"Sebagian besar menyetujui konklusi BCG. Tidak ada yang menyanggah terkait analisa kami. Cuma dari rapat menjadi sebuah keputusan, itu di luar ranah kami,"tuturnya.
Dalam catatan Katadata.co.id, setelah menggelar rapat dengan konsultan, Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pada 2 September 2015 mengatakan ada empat faktor yang dinilai konsultan.
Keempat faktor tersebut adalah komitmen pemerintah dan risiko yang akan ditanggung pemerintah, teknologi dan semua kaitannya, dampak sosial ekonomi, dan rencana proyek secara keseluruhan.
"Memang kalau dilihat dari hasil assesment dari konsultan, kalau lebih ditekankan kepada trackrecord pengalaman, ditekankan kepada komitmen apa yang harus dipikul pemerintah, itu antara Jepang dan Cina ya memang berbeda," tutur Darmin.
Darmin menambahkan proposal Cina lebih unggul pada dampak sosial ekonomi sementara Jepang lebih unggul pada track record teknologinya.
Seperti diketahui, proyek Kereta Cepat menjadi perbincangan dalam sepekan terakhir setelah Presiden Joko Widodo merestui penggunan APBN dalam proyek tersebut.
Penggunaan APBN dikritik banyak pihak karena dari awal Presiden Jokowi menegaskan tidak akan menggunakan anggaran negara untuk proyek tersebut.
Penggunaan APBN dikhawatirkan tidak hanya berhenti sampai proses konstruksi tetapi akan terus berlanjut sampai operasional.