Jakarta— Pemanfaatan lahan dan energi masih menjadi sumber utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia. Meski begitu, target penurunan emisi GRK perlu dilakukan secara masif dan komprehensif dari sektor lain untuk mengejar ketertinggalan target hingga tahun 2030.
Verena Puspawardhani, Program Director Coaction Indonesia (alternatif IESR), mengungkapkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 13,2 persen dari baseline 2019. Jika dilihat dari indikator pembangunan rendah karbon pada sektor energi , persentase itu setara dengan 142 juta ton karbon pd 2024.
Verena menjadi salah satu pembicara dalam acara webinar yang membahas khusus tema “ROAD TO NET ZERO: ENERGY, FOREST, AND OCEAN” pada Jumat (22/10/2021). Tema ini merupakan bagian dari , pembahasan Road to COP26. Selain Ferena, hadir juga Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa dan Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Dalam diskusi terungkap bahwa komitmen untuk memangkas emisi karbon juga tercermin dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dari PLN. Pada 2030 nanti, menurut RUPTL 2021, bauran energi terbarukan dalam sistem ketenagalistrikan akan mencapai 24,8 persen.
Selama sepuluh tahun mendatang, PLN berencana memensiunkan 1,1 GW PLTU dan menambah pembangkit baru sebesar 40,6 GW. Di mana 51,6 persen atau 20,9 GW merupakan pembangkit dengan energi terbarukan. Sebagian besar pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ini berupa pembangkit tenaga air, panas bumi dan energi surya.
Menurut Verena, RUPTL hijau menargetkan kurangi emisi sebesar 100 juta ton pada 2030. “Namun kita jangan hanya memangkas emisi dari sisi energi saja, jadi harus ada sektor lain yang dikejar agar target penurunan emisi di Indonesia segera tercapai,” kata Verena.
Di sektor energi, program inti pembangunan rendah karbon adalah pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, dan substitusi bahan bakar minyak. Diharapkan pada 2024 nanti, bauran energi terbarukan dalam energi primer telah mencapai 19,5 persen (23 persen pada 2025). Targetnya, pada 2024 nanti terjadi penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi sebesar 13,2 persen dari tingkat emisi tahun 2019.
Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim yang dapat mengancam kehidupan bangsa. Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung berbagai upaya dalam rangka menanggulangi perubahan iklim.
Pada 2009, Pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dengan usaha sendiri, dan mencapai 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2020. Dalam pertemuan UNFCCC COP 21 tahun 2015 di Paris komitmen ini ditingkatkan menjadi penurunan emisi GRK sebesar 29 persen dengan usaha sendiri, dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional di bawah baseline emisi GRK tahun 2030.
Mengutip RPJMN 2020-2024, ada tujuh agenda pembangunan. Agenda pembangunan ke-6 dalam RPJMN 2020-2024 adalah Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim. Di antara sasaran makro pembangunan yang termuat dalam RPJMN 2020-2024 adalah penurunan emisi GRK sebesar 27,3 persen pada tahun 2024.
Untuk memenuhi target penurunan emisi tersebut, perlu upaya-upaya strategis dan agresif di sejumlah sektor ekonomi. Di antaranya melalui strategi pembangunan rendah karbon. Salah satu indikator utama yang digunakan dalam pembangunan rendah karbon adalah Intensitas Emisi. Intensitas Emisi didefinisikan sebagai jumlah emisi Gas Rumah Kaca (CO2e) per satuan output ekonomi (miliar rupiah PDB).
Penurunan emisi gas rumah kaca dan Intensitas Emisi di Indonesia akan bergantung pada implementasi kebijakan di sektor energi, lahan dan gambut, industri, limbah, pertanian, serta pesisir dan kelautan. Saat ini, pemanfaatan lahan dan energi masih menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca di negeri ini.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, menyoroti tentang pekerjaan rumah pemerintah yang masih belum optimal merestorasi lahan gambut. Nadia mengharapkan moratorium perkebunan sawit menjadi satu faktor penting untuk perlindungan lahan gambut.
Total lahan gambut yang telah direstorasi pada kawasan budidaya berizin/konsesi (Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan) hanya mencapai 143.448 hektare dari target 1.784.353 hektare sampai tahun 2020 atau hanya 8 persen dari target. Sementara lahan gambut yang berhasil direstorasi pada kawasan non-izin (HL, HP, KK, APL) baru mencapai 682.694 dari target 892.248 hektare sampai tahun 2020 (77 persen dari target).
Apabila tidak ada perbaikan kebijakan, dikhawatirkan target pemulihan dan restorasi gambut tidak akan tercapai. Dalam rencana pembangunan ke depan, total tutupan hutan di atas lahan gambut perlu dipertahankan pada luas minimal 9,2 juta hektare seperti kondisi pada tahun 2000 sehingga pada periode RPJMN 2020-2024 setidaknya diperlukan tambahan lahan gambut yang direstorasi seluas 1,5-2 juta ha.
Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa, mempersoalkan tentang kondisi hutan mangrove yang terus mengalami kerusakan. Luas hutan mangrove dunia seluas 16,5 juta hektar, dari luasan itu 33 persen ada di Indonesia. Dalam empat tahun terakhir terjadi kerusakan dan paling banyak kerusakan di Indonesia. Faktor penyebab utama kerusakan alih fungsi lahan seperti tambak, perkebunan sawit, pertanian dan lain-lain.