Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus sinyal terjadinya praktek kartel dibalik lonjakan harga minyak goreng dalam beberapa pekan terakhir. Namun, tudingan ini secara tegas dibantah oleh para pengusaha minyak sawit.
Dugaan adanya sinyak kartel bermula dari penglihatan KPPU terkait bisnis empat perusahaan besar yang menguasai sekitar 40% pangsa pasar minyak goreng. Empat perusahaan tersebut memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng.
Dengan struktur pasar yang seperti itu, KPPU menyebut industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli dan berpotensu menaikkan harga bersama-sama.
Berdasarkan data Infopangan.jakarta.go.id, harga minyak goreng curah di wilayah Jakarta melonjak Rp 15.358 per kg pada 1 Agustus 2021 menjadi Rp 19.722 per kg pada 22 Januari 2022. Di beberapa pasar harganya bahkan sudah melampaui Rp 20 ribu per kg.
Sementara berdasarkan pusat informasi harga pangan strategis nasional (PIHPS), harga minyak goreng curah per 21 Januari 2022 sebesar Rp 18.850 per kg. Sedangkan harga minyak goreng kemasan ber merk 1 mencapai Rp 18.850 per kg dan kemasan ber merk 2 Rp 21.100 per kg.
Bagaimana sebenarnya harga minyak goreng terbentuk?
Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang mengatakan produsen minyak goreng menaikkan harga berdasarkan kenaikan CPO (crude palm oil). Ia pun membantah tuduhan KPPU terkait potensi kartel oleh empat produsen minyak goreng.
"Silahkan YLKI dan KPPU buka grafik harga CPO," kata Togar kepada Katadata.co.id.
Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti) Kementerian Perdagangan, harga minyak sawit di pasar spot Medan ditutup di level Rp 20.051,52 per kilogram (kg) pada perdagangan 31 Desember 2021. Harga tersebut naik 38,97% dibanding posisi akhir 2020 yang berada di Rp 14.428,23 per kg.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengatakan pembentukan harga CPO di dalam negeri mengacu pada lelang yang dilakukan PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). KPBN adalah anak usaha PT Perkebunan Negara III yang menjadi induk Holding Perkebunan.
"Kenapa KPBN? Dia bersifat independen dan memiliki luas kebun terbesar di satu entitas. Jadi, harga acuan ke situ, tidak mungkin ditentukan perusahaan swasta besar," kata Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Saragih kepada Katadata, Jumat (21/1).
Harga lelang yang dilakukan KPBN merupakan hasil lelang CPO milik Holding Perkebunan berdasarkan mekanisme permintaan dan pasokan di pasar lelang domestik dan disesuaikan dengan Malaysia Derivatives Exchange (MDEX). Sahat mengatakan, harga minyak goreng di dalam negeri akan menyesuaikan harga CPO besutan lelang KPBN.
Hingga 20 Januari 2022, harga CPO berdasarkan lelang KPBN adalah Rp 15.120 per kg, naik Rp 1.000 per kg atau 7,08% dibandingkan harga per 3 Januari 2022 senilai Rp 14.120 per kg.
Direktur KPBN Rahmanto Amin Jatmiko menjelaskan, setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan harga CPO terus tumbuh pada tahun lalu, yakni:
- Turunnya pasokan CPO dunia.
Pandemi Covid-19 telah menimbulkan permasalahan tenaga kerja di industri sawit Malaysia karena seluruh tenaga kerja Indonesia dipulangkan. Hal ini membuat produksi CPO Malaysia sebagai produsen kedua terbesar dunia turun 6% pada 2021.
- Pemangkasan pajak impor CPO oleh di India.
Kebijakan ini dilakukan India untuk melawan naiknya harga minyak kedelai akibat pasokan minyak kedelai dengan harga rendah dari Amerika Selatan.
- Spekulasi commodity supercycle atau siklus super harga komoditas.
Harga CPO yang konsisten naik sejak 2020 membuat beberapa pedagang komoditas meramalkan harga CPO akan terus meningkat hingga medio 2022.
- Solidnya harga minyak mentah dan minyak nabati lainnya.
Meski India telah menurunkan pajak impor, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meramalkan konsumsi minyak kedelai di negara berpenduduk terbesar kedua dunia ini akan meningkatkan. Pada saat yang sama, sebagian perkebunan kedelai di Amerika Selatan terancam gagal panen karena cuaca ekstrem. .
Dengan keempat faktor tersebut, Inacom meramalkan harga CPO masih akan tinggi hingga bulan Ramadan atau April 2022. Harga CPO kemungkinan baru akan turun mulai paruh kedua 2022 saat produksi sawit di dalam negeri mulai pulih.
Wakil Ketua Umum III Gapki Togar Sitanggang menyebut terdapat dua faktor yang berpotensi menurunkan harga CPO pada tahun ini. Pertama, tercapainya target produksi CPO pada semester I-2022. Produktivitas kebun di Indonesia yang minim pada tahun lalu karena masalah pupuk menjadi salah satu penyebab utama naiknya harga CPO pada tahun lalu. Permintaan pasar global naik sejalan pemulihan ekonomi tak dapat dipenuhi oleh negara-negara produsen CPO lainnya.
Kedua, kinerja produksi minyak kedelai di Amerika Selatan. Selain minimnya pasokan CPO, menanjaknya harga minyak nabati lain membuat harga CPO ikut naik.
Togar mengatakan, hasil panen perkebunan kedelai di Amerika Selatan dalam beberapa minggu ke depan akan mempengaruhi harga. Ada kemungkinan panen kedelai di belahan dunia tersebut gagal karena cuaca panas.
"Harga minyak sawit sekarang naik lagi karena mengikuti harga kedelai karena sentimen yang seperti itu," kata Togar.