Mendag Akui Petani Sawit Dirugikan dari Kebijakan Harga Minyak Goreng

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom.
Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit di kebun milik salah satu perusahaan kelapa sawit di Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Kamis (11/11/2021).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Yuliawati
31/1/2022, 18.09 WIB

Kementerian Perdagangan (Kemendag) berharap titik keseimbangan harga minyak goreng Rp 14 ribu di masa depan, berbagai berbagai kebijakan mengatasi lonjakan harga. Namun, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengakui kebijakan ini merugikan petani sawit dalam jangka pendek.

Lutfi menjelaskan kebijakan Harga Eceran Tertinggi bakal menekan sektor hulu dari industri minyak sawit nasional, terutama petani. Dia menyebutkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit akan susut sekitar Rp 250 - Rp 300 per kilogram (Kg) dari posisi sebelum kebijakan satu harga minyak goreng sekitar Rp 3.400 per Kg.

"Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Kalau mereka komitmen, dan pasti komitmen, tinggal waktu itu harga (migor) turun (dan menjadi) flat," kata Lutfi dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Senin (31/1).
 

Saat ini, berlaku kebijakan satu harga minyak goreng kemasan Rp 14 ribu per liter. Harga itu didapatkan setelah pemerintah mensubsidi selisih antara harga keekonomian minyak goreng dan harga pasar saat ini di produsen.

Dana subsidi itu didapatkan dari dana pungutan (DP) ekspor industri minyak sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Kebijakan minyak goreng satu harga akan berakhir pada hari ini, Senin (31/1).

Selanjutnya, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi minyak goreng tertinggi di level Rp 14 ribu sejak 1 Februari 2022.  Secara rinci, aturan HET untuk tiga jenis minyak goreng, yakni migor curah senilai Rp 11.500 per liter, migor kemasan sederhana senilai RP 13.500 per liter, dan migor kemasan premium senilai Rp 14.000 per liter.

Izin Ekspor Sawit

Lutfi mengatakan belum menerbitkan izin ekspor sawit sejak awal 2022 hingga saat ini. Keran ekspor sawit dibuka bila produsen memenuhi kewajiban pasar domestik atau domestic market obligation (DMO). 

Kemendag telah menerbitkan Permendag No. 5-2022 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar. Beleid itu mengatur DMO bagi eksportir minyak sawit mentah (CPO) dan olein untuk memasok 20% dari volume ekspor di harga Rp 9.300 per Kg untuk CPO dan Rp 10.300 untuk olein.

Lutfi menyampaikan penerbitan Permendag No. 5-2022 adalah bagian dari ekskalasi normalisasi harga migor sejak akhir 2021. Selain itu, beleid ini juga mempertimbangkan tingkat kepatuhan industri minyak sawit.

Pada akhir 2021, Lutfi telah menginstruksikan agar produsen menyediakan 11 juta liter untuk menghadapi momentum liburan Natal dan Tahun Baru (Nataru).

Hal yang sama terjadi saat Kemendag meminta produsen untuk menyediakan 12 juta liter migor kemasan sederhana saat penetapan Migor Satu Harga awal Januari 2022. Akan tetapi, jumlah migor kemasan sederhana yang disediakan hanya sekitar 300 ribu liter.

"Jadi, untuk masalah (harga) migor ini kami bikin (aturan lanjutannya) kalau tidak berkomitmen (dengan aturan yang ada). (Karena) yang terakhir ini, dari hulu sampai hilir (kami atur)," kata Lutfi.

Di sisi lain, Lutfi menilai salah satu yang membuat harga CPO di pasar internasional adalah kebijakan B30 di dalam negeri pada 2020. Menurutnya, hal itu mendisrupsi pasokan CPO di dunia dengan meningkatnya konsumsi CPO Indonesia.

Sebagai informasi, B30 merupakan bahan bakar solar yang dicampur oleh salah satu turunan CPO, yakni fatty acid methyl ester (FAME), sebanyak 30%. Bahan bakar ini lebih dikenal dengan nama biodiesel.

Berkurangnya pasokan CPO dunia membuat harga CPO berangsur naik pada 2020-2021. Namun demikian, hal ini juga yang membuat harga migor di dalam negeri seperti saat ini.  "Ini (kebijakan B30) sebenarnya kebijakan yang sangat menguntungkan orang Indonesia. Ekspor CPO kita 2021 itu US$ 32,83 miliar, secara agregat ekonomi ini bagus sekali," ucap Lutfi.

Reporter: Andi M. Arief