Indonesia Butuh 15 Pabrik Blast Furnace untuk Setop Impor Baja

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Petugas beraktivitas di pabrik pembuatan baja Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019). Kementerian Perindustrian mendorong percepatan pembangunan klaster industri baja Nasional di Cilegon dan Banten untuk memacu peningkatan target produksi sebanyak 10 ton baja pada tahun 2025.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Maesaroh
14/2/2022, 15.03 WIB

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan Indonesia membutuhkan tambahan 15 juta tanur tinggi atau blast furnace (BF) masing-masing berkapasitas 1,2 juta ton agar industri baja nasional dapat menghentikan impor baja hulu. 

Selain itu, tambahan fasilitas pengolah iron ore atau bijih besi menjadi baja hulu sebanyak 18 juta ton. Produk baja hulu yang dimaksud adalah slab, billet, dan bloom. Produk paling hilir dari slab adalah kendaraan dan produk elektronik, untuk billet adalah komponen konstruksi, sedangkan bloom adalah bahan baku komponen rel kereta api. 

"Kalau itu ada (15 BF), itu akan menurunkan impor (secara) hitungan teknokratis di atas kertas. Saya tidak tahu siapa yang mau investasi (BF itu)," kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Taufik Bawazier dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR, Senin (14/2). 

 Saat ini ada tiga pabrikan yang mengolah iron ore dengan blast furnace, yakni PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) berkapasitas 1,2 juta ton, PT Krakatau Posco berkapasitas 3 juta ton, dan PT Dexin Steel Indonesia berkapasitas 3,3 juta ton.

Artinya, kemampuan pengolahan iron ore nasional dengan blast furnace baru mencapai 7,5 juta ton. 

Saat ini, Krakatau Steel menghentikan produksi baja dengan blast furnace. Namun demikian, Krakatau Steel memiliki fasilitas produksi baja lain, yakni Electric Ark Furnace (EAF) berkapasitas 3 juta ton. 

Artinya, total produksi baja dari iron ore secara nasional baru mencapai 7,2 juta ton. Sementara itu, kebutuhan baja untuk industri hilir mencapai sekitar 17 juta ton per tahun. 

Bawazier menjelaskan kebutuhan baja merupakan hasil kalkulasi dari kapasitas produksi dikurangi ekspor dan ditambah impor.

Saat ini, volume impor baja nasional per tahun sekitar 13 juta ton, sedangkan pasokan dari pabrikan domestik untuk kebutuhan nasional sekitar 4 juta ton. 

Bawazier mengatakan, pada 2023, Krakatau Posco akan membangun satu blast furnace berkapasitas 2,4 juta ton. Dengan tambahan itu, produksi baja hulu akan menjadi 9,6 juta ton. 

Pada tahun yang sama, Krakatau Posco juga berencana untuk membangun Cold Rolled Mill untuk memproduksi baja canai dingin atau cold rolled coil (CRC) berkapasitas 2,4 juta ton. Dengan demikian, kapasitas produksi CRC nasional diharapkan bisa menjadi 3,7 juta ton. 

Sebagai informasi, CRC merupakan hasil produksi lanjutan dari pemipihan slab. CRC umumnya digunakan sebagai bahan baku industri komponen bangunan. 

Terkait pengoperasian BF milik KRAS, Bawazier menilai fasilitas produksi itu sebaiknya dihidupkan untuk membantu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun demikian, Bawazier berujar keputusan itu merupakan prerogatif manajemen KRAS. 

"Dia (manajemen KRAS) takut kalai (BF) dihidupkan akan rugi. Kalau rugi, harus bertanggungjawab sama keuangan negara. Ini dilema," kata Bawazier. 

 Pada Agustus 2020, Direktur Utama KRAS Silmy Karim pernah menjelaskan ke Komisi VI DPR bahwa investasi pembangunan blast furnace tersebut dinyatakan gagal dan menyeret laporan keuangan perseroan.

Krakatau Seteel memutuskan untuk menghentikan blast furnice perseroan pada akhir kuartal IV/2019. 

Reporter: Andi M. Arief