Pemerintah mulai hari ini mencabut ketentuan Harga Eceren Tertinggi (HET) untuk minyak goreng sawit dalam kemasan. Pemerintah juga akan merevisi aturan kewajiban pasar domestik (DPO) yang menjadi syarat ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil atau CPO.
Meski begitu, aturan kewajiban pasar domestik atau domestic market obligation/ DMO CPO masih berlaku yakni sebesar 30% dari total volume ekspor. Selama ini hasil DMO itu wajib dijual sesuai dengan aturan DPO, yakni CPO senilai Rp 9.300 per kilogram (Kg) dan olein senilai Rp 10.300 per Kg.
"Saat ini, yang jelas DMO 30% masih dikenakan, kemudian harga (migor curah) itu Rp 14 ribu per liter. (Aturan) ke bawahnya (seperti DPO) akan kami diskusikan," kata Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi saat pendistribusian migor curah oleh BUMN Pangan di Pasar Kramat Jati, Rabu (16/3).
Aturan DMO dan DPO ini merupakan dasar penetapan HET yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 6-2022 tentang HET Minyak Goreng Sawit. Dalam aturan itu, HET minyak goreng curah senilai Rp 11.500 per liter, kemasan sederhana sebesar Rp 13.500 per liter, dan kemasan premium sebesar Rp 14.000 per liter.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan sebelumnya mengatakan aturan DMO dibutuhkan untuk menjamin ketersediaan bahan baku migor di dalam negeri. Alasannya, industri CPO nasional belum dapat mengendalikan harga CPO internasional meski memproduksi setengah pasokan CPO dunia.
Industri CPO belum dapat menentukan harga karena konsumsi CPO domestik baru sekitar 35%. Untuk mengendalikan harga internasional, konsumsi domestik setidaknya harus mencapai 60%.
Adapun, aturan DPO dibutuhkan agar produsen migor tidak lagi dapat menjual produknya dengan harga tinggi lantaran harga bahan baku di dalam negeri telah dijamin pemerintah. Dengan adanya DMO dan DPO, industri turunan CPO juga diwajibkan untuk memasok CPO atau olein kepada industri migor domestik. Industri turunan CPO dapat membeli CPO dan olein dengan harga DMO sesuai dengan volume ekspor turunan CPO tahunan.
Pengusaha sawit kecewa dengan keputusan pemerintah menaikkan kewajiban memasok minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam mekanisme domestic market obligation (DMO) dari 20% menjadi 30%. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menilai naiknya DMO CPO ini akan menambah beban industri CPO domestik dan berpotensi memicu penurunan produksi.
Saat DMO CPO diterapkan 20%, sebagian keuntungan dari penjualan ekspor untuk menutupi selisih harga dari DMO. Dengan bertambah kewajiban 30%, keuntungan perusahaan semakin berkurang. "Kami berharap kebijakan itu dicabut saja," Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga kepada Katadata.co.id, Jumat (11/3).
Dia pun menyebut kenaikan DMO CPO menjadi 30% merupakan keputusan yang kurang tepat. Dengan DMO sebesar 20%, pasokan minyak goreng di dalam negeri mencapai 415 ribu ton atau lebih dari 25,37% dari kebutuhan. "Kalau tidak ekspor (dan) produksi tinggi, mau ke mana barang itu? Di dalam negeri dari mana dia mau bikin (olahan CPO)?" kata Sahat.
Sahat menyebutkan stok CPO lokal telah mencapai 5 juta ton. Sahat menilai jumlah tersebut sangat tinggi mengingat waktu produksi cukup singkat dan konsumsi CPO nasional masih rendah.
Jika kondisi tidak membaik, Sahat memperkirakan produksi CPO dapat berhenti dan proses pengolahan tandan buah segar (TBS) dapat terhenti. "Kalau pohon masa bisa ditahan tidak berbuah?" kata Sahat.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendata konsumsi CPO di dalam negeri pada 2022 diproyeksi tumbuh 11,78% menjadi 20,59 juta ton. Secara rinci, konsumsi pangan akan naik 7,21% menjadi 9,6 juta ton, oleokimia terkontraksi 1,59% menjadi 2,16 juta ton, dan biodiesel melonjak 20,26% menjadi 8,83 juta ton.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat kebutuhan minyak goreng tahun ini adalah 5,7 juta ton yang terdiri dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta ton dan kebutuhan industri sebesar 1,8 juta ton.