Pungutan Ekspor CPO Naik, Pengusaha Bakal Tekan Harga di Petani

ANTARA FOTO/Septianda Perdana/hp.
Petugas operator mengawasi penyaluran CPO di Pelabuhan Belawan Medan, Sumatera Utara, Selasa (28/7/2020).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Yuliawati
18/3/2022, 18.39 WIB

Pengusaha sawit menilai pemerintah terlalu tinggi menarik dana pungutan (DP) ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya. Kenaikan pungutan akan mengurangi keuntungan pengusaha hingga US 160 per ton atau sekitar Rp 2,2 juta per ton dan berdampak menekan harga jual para petani sawit.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menaikkan batas atas harga CPO untuk dana pungutan ekspor dari US$ 1.000 per ton menjadi US$ 1.500 per ton. Sehingga eksportir harus membayar dana pungutan dua kali lipat.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan pengusaha keberatan bila pemerintah menarik pungutan saat pengiriman di pelabuhan mulai hari ini. Padahal proses transaksi antara pembeli dan penjual melalui kesepakatan kontrak berjangka yang harganya ditentukan beberapa bulan sebelum pengiriman.

Sehingga, GIMNI berharap penerapan pungutan hanya berlaku bagi kontrak yang baru. "Kami tidak mau mengubah PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang ada, tapi saat realisasi (transaksi yang terkontrak sebelum PMK baru) bisa menjalankan (tarif DP) sebelumnya," kata Sahat kepada Katadata, Jumat (18/3).

Ketentuan terbaru, dana pungutan ekspor sebesar US$ 55 untuk penjualan CPO dengan harga US$ 750 per ton. Setiap penambahan harga jual sebanyak US$ 50 per ton, DP ekspor akan ditambah US$ 20.

Dana pungutan terbaru tersebut berjalan progresif sampai menyentuh harga US$ 1.500 per ton. Dalam peraturan sebelumnya, dana pungutan akan flat senilai US$ 175 per ton saat harga ekspor CPO lebih dari US$ 1.000 per ton.

Sahat menghitung keuntungan pengusaha berkurang mencapai US$ 160 per ton dengan penerapan dana pungutan terbaru.
Perhitungan ini mengacu pada harga referensi CPO yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan per Maret 2022 adalah US$ 1.432 per ton.

Bila mengacu pada aturan lama, maka pungutan ekspor yang harus dibayar pengusaha sebesar US$ 175 per ton. Namun, dalam ketentuan baru pungutan akan naik menjadi US$ 335 per ton.

"Jadi, kami memohon kepada pemerintah bahwa mereka yang commited forward selling tidak dikenakan peraturan baru ini, tapi kontrak (transaksi CPO) baru harus dengan pungutan baru ini," kata Sahat.

Di sisi lain, Sahat menilai ketentuan terbaru pungutan ekspor ini akan menekan harga Tandan Buah Segar atau TBS menjadi sekitar Rp 3.200 per kilogram. Pada saat pungutan ekspor CPO senilai US$ 175 per ton, Sahat mencatat harga TBS di petani mencapai Rp 3.850 per Kg.

Artinya, harga TBS di petani diperkirakan akan turun 16,88% akibat penyesuaian DP ekspor CPO. Namun demikian, Sahat mengatakan harga ini masih lebih baik dibandingkan level harga pada 2019, yakni di titik Rp 1.800 per Kg.

"Kalau ditujukan untuk subsidi minyak goreng itu terlalu besar. Terus, mungkin ada tujuan pemerintah lain," kata Sahat.

Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi mengakui ketentuan dana pungutan ekspor CPO akan memukul pendapatan para pekebun yang berjumlah sekitar delapan juta orang. Namun, dia memilih kepentingan masyarakat luas.

"Kalau mau membereskan (isu stabilisasi harga migor di) rakyat, yang delapan juta musti mengalah," kata Lutfi dalam rapatkerja bersama Komisi VI DPR, Kamis (17/3).

Indonesia menjadi salah satu negara eksportir CPO terbesar di dunia. Tercatat, Tiongkok dan India merupakan pangsa pasar terbesar ekspor minyak sawit nasional. Berikut grafik Databoks: 

Reporter: Andi M. Arief