Petani sawit protes terhadap kenaikan dana pungutan (DP) ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil/ CPO. Alasannya, kenaikan tersebut membuat mereka rugi karena menekan harga tandan buah segar (TBS) yang diterima petani.
Dalam aturan baru, pemerintah menaikkan batas atas harga CPO ekspor yang dikenakan DP secara progresif ke level US$ 1.500 per ton. Dana pungutan paling tinggi naik menjadi US$ 375 per ton. Selain itu, eksportir CPO tetap akan dikenakan bea keluar (BK) senilai US$ 200 per ton. Sehingga, total dana yang harus dikeluarkan eksportir untuk mengirim CPO ke pasar ekspor kini menjadi US$ 575 per ton.
"Kami perkirakan pengurangan harga TBS di tingkat petani kelapa wasit sekitar Rp 600 - Rp 700 per Kg TBS. Kami meminta agar dana pungutan (ekspor) sawit terbaru ini dibatalkan," kata Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto dalam keterangan pers, Senin (21/3).
Dana Pungutan ekspor ini dianggap menjadi salah satu faktor penekan harga TBS sejak lama. Sehingga dia meminta pemerintah tak menaikkan pungutan dan dapat menggunakan data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) masih terbilang cukup. SPKS mencatat dana pungutan BPDPKS yang belum digunakan pada 2015 - 2021 mencapai Rp 138 triliun.
Darto menilai pemerintah juga dapat menerapkan program peremajaan perkebunan sawit yang dapat meningkatkan produktivitas petani hingga empat kali lipat.
Selain peremajaan kebun, Darto juga mengusulkan agar pemerintah menurunkan kadar Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dalam biodiesel menjadi 20% atau menjadi B20. Saat ini pemerintah masih menjalankan program B30 yang dimulai sejak 2020.
Darto menilai penurunan kadar FAME tersebut dapat menyelesaikan dua hal, yakni ketersediaan bahan baku untuk industri migor dan dana subsidi untuk migor curah. Seperti diketahui, mayoritas dana hasil DP ekspor CPO menjadi dana untuk mensubsidi selisih antara harga solar dan CPO dalam program biodiesel.
Adapun Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan harga TBS telah tertekan hingga Rp 1.600 per kilogram (Kg) dengan DP ekspor senilai US$ 175 per ton dan bea keluar US$ 200 per ton.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung menilai kenaikan dana pungutan ekspor CPO untuk mensubsidi migor curah tidak diperlukan. Pasalnya, BPDPKS masih menyimpan dana hasil DP ekspor CPO hingga Rp 21 triliun.
BPDPKS mendata dana pungutan (DP) ekspor industri sawit pada 2021 menjadi yang tertinggi sejak didirikan pada 2015 atau senilai Rp 71,64 triliun. Pertumbuhan harga sawit dunia dinilai menjadi pendorong utamanya.
Berdasarkan data BPDPKS, volume eskpor sawit 2021 tercatat hanya mencapai 36,97 juta ton atau lebih rendah pada realisasi 2017 sebanyak 37,44 juta ton. Namun demikian, nilai ekspor sawit pada tahun lalu mencetak rekor baru atau melonjak 31,99% menjadi US$ 30,32 miliar.
Seharusnya, ujar Gulat, pemerintah menstabilkan kondisi pasar CPO dan turunannya sebelum menerapkan kebijakan aturan kewajiban pasok pasar domestik (DMO) dan kewajiban harga domestik (DPO). Menurutnya, kedua aturan tersebut membuat ketersediaan migor dan harga petani menjadi berantakan.
"Saya mendengar kalau rapat terkait PMK No. 23-2022 ini tidak satu suara. Semua stakeholder sawit malah mengusulkan supaya dikaji dulu dengan cermat dan liaht situasi sebab kondisi masih sangat tidak stabil," kata Gulat kepada Katadata.
Walau demikian, Gulat mengatakan pihaknya akan mendukung PMK No. 23-2022 dengan syarat pemerintah akan menjaga dan memastikan harga TBS tidak terjun. Gulat menilai harga CPO besutan PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) cenderung turun selama 16-18 Maret 2022.
Pada saat yang sama, harga CPO internasional relatif stabil. Gulat berpendapat hal tersebut menggambarkan ketidakpastian pasar CPO domestik. "Kiblat dalam menetapkan harga TBS petani adalah hasil tender CPO KPBN. Jadi, sangat erat hubungannya hasil tender KPBN dengan harga TBS pekebun," ujar Gulat.