PPN Naik Jadi 11%, Harga Minyak Goreng Kemasan Bakal Makin Mahal

ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/hp.
Pengunjung membeli minyak goreng kemasan di Pusat Perbelanjaan, Kabupetan Ciamis, Jawa Barat, Jumat (18/3/2022).
28/3/2022, 14.45 WIB

Kebijakan pemerintah menaikkan harga pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 11% akan membuat harga jual ke konsumen menjadi lebih mahal. Salah satu produk yang ditarik PPN di antaranya minyak goreng kemasan.

Selama ini minyak goreng yang dijual di ritel ditarik PPN. Dengan kebijakan kenaikan PPN 11%, harganya kemungkinan akan naik.

Corporate Affairs Director Alfamart sekaligus Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin mengatakan, pajak pertambahan nilai merupakan tanggung jawab dari konsumen.  "Yang jelas, ketika konsumen membeli barang, harganya itu sudah termasuk pajak. Artinya pajak itu jadi tanggung jawab konsumen,”ujarnya saat dihubungi Katadata, Senin (28/3).

Solihin mengatakan peritel tidak menentukan harga pembelian. Harga pembelian tergantung distributor dan produsen.  "Tentunya kami menaikkan harga tersebut menjadi harga jual, yang terdiri dari harga pokok pembelian plus margin yang kita ambil dari masing-maisng peritel,”kata Solihin.

Solihin mengatakan meski kebijakan PPN 11% tersebut mengerek harga jual, dia optimistis penjualan tidak akan menurun dalam waktu dekat. Sebab, konsumsi masyarakat biasanya akan naik pada bulan Ramadan, khususnya kebutuhan pokok.

Pemerintah telah resmi menghapus kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sebesar Rp 14.000 per liter mulai 16 Maret 2022. Pencabutan HET menyebabkan harga minyak goreng kemasan di tingkat konsumen melambung tinggi. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat rata-rata harga minyak goreng kemasan bermerk 1 (per kg) harian di pasar modern di beberapa provinsi telah menyentuh angka Rp 19.725 per kg pada Jumat (25/3).

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman mengatakan , kenaikan PPN menjadi 11% tidak berdampak signifikan pada industri makanan dan minuman nasional. Namun, Adhi menilai waktu implementasi kenaikan PPN kurang tepat.

Kenaikan PPN dikhawatirkan akan menurunkan konsumsi rumah tangga. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 60% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

"Timing-nya agak kurang pas karena kami sedang menghadapi banyak masalah, khususnya terkait peningkatan biaya produksi karena harga bahan baku, energi, dan logistik yang meningkat luar biasa,"kata Adhi kepada Katadata, Jumat (25/3).

Adhi mengatakan meningkatnya harga bahan baku dan logistik selama pandemi telah memaksa industri meningkatkan harga jual produknya pada akhir 2021 maupun awal 2022. Dia mencatat konflik antara Rusia-Ukraina akan kembali meningkatkan harga bahan baku sebanyak 20%.

Peningkatan harga bahan baku tersebut akan tercermin dalam harga jual produk mamin. Namun, Adhi mengatakan pihaknya masih menahan untuk menaikkan harga karena beberapa hal, seperti daya beli masyarakat dan Ramadan 2022.

"Sekarang ini margin tergerus. Keuntungan perusahaan akan berkurang," ucap Adhi.

Adhi menjelaskan industri mamin harus berdiskusi dengan beberapa pihak untuk menaikkan harga, seperti peritel dan distributor. Selain itu, industri juga harus melihat kondisi daya beli masyarakat.

"Kalau harga komoditas terus menerus meningkat, kemungkinan setelah lebaran, mau tidak mau, harus ada kenaikan lagi, walaupun ada potensi penurunan pembelian" kata Adhi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, tarif PPN 11 % masih tergolong rendah dan berada di bawah rata-rata global. “Kalau rata-rata PPN di seluruh dunia itu ada di 15%, kalau kita lihat negara OECD dan yang lain-lain, Indonesia ada di 10%. Kita naikkan 11%, dan nanti 12% pada tahun 2025,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan resminya, Selasa (22/3).

Meski diklaim rendah di skala global, tarif PPN 11% itu sesungguhnya merupakan kedua tinggi di kawasan Asia Tenggara.  Berikut grafik Databoks: 

Reporter: Andi M. Arief