Industri Tekstil Mulai Menggeliat, Omzet Bakal Lampaui Sebelum Pandemi

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Pengunjung melihat beberapa produk fesyen di ruangan Jakarta Fashion Hub, Senin (6/12/2021).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Yuliawati
6/4/2022, 16.22 WIB

Kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional pada tahun ini diperkirakan akan melampaui pencapaian sebelum pandemi atau pada 2019. Penjualan tekstil bertambah dari ekspor ke Amerika Serikat dan lonjakan permintaan pada ramadan 2022.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat permintaan pada ramadan biasanya meningkat sekitar 30% dibandingkan bulan biasa. Namun, lonjakan permintaan tersebut tidak terjadi pada 2020 dan 2021.

"Saya pikir bisa lebih tinggi dari (lonjakan permintaan ramadan) 2019 karena selama dua tahun ini mereka (konsumen) dilarang (belanja). Keliatannya teman-teman di industri tekstil sudah mempersiapkan ramadan ini untuk bangkit kembali," kata Ketua Umum API Jemmy Kartiwa kepada Katadata, Rabu (6/4).

Namun, di sisi lain pabrikan lokal menghadapi tantangan mencari tenaga kerja baru karena selama pandemi memecat banyak tenaga kerja. "Iya (karena banyak PHK pada 2020," kata Jemmy.

Faktor lainnya permintaan dari Negeri Paman Sam yang akan naik menjadi 5% - 6%. Sebelumnya, pangsa pasar produk Indonesia di Amerika Serikat ada di rentang 3% - 4%.

Jemmy mengatakan peningkatan tersebut disebabkan oleh keinginan pemilik merek asal Amerika Serikat untuk mendiversifikasi negara pemasok garmen. Saat itu, garmen dari Cina mendominasi hingga 70%, tapi angka tersebut diturunkan hingga 40% untuk menjaga pasokan.

Pelepasan pangsa pasar tersebut diperebutkan oleh tiga negara, yakni Indonesia, Vietnam, dan Bangladesh. Jemmy menilai salah satu faktor yang diperhatikan pemilik merek dalam memilih pemasok adalah harga produksi.

"Saya selalu encourage anggota kita, (mengingatkan) inovasi tetap harus ada, dan salah satunya (menekan) cost. Karena, mereka (buyer internasional) selalu membandingkan (harga) produk Cina, Bangladesh, dan Indonesia," kata Jemmy. 

Lonjakan permintaan juga akan didorong oleh berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 142/PMK.010/2021 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindak Pengamanan (BMTP) terhadap Impor Produk Pakaian dan Aksesoris. Dalam aturan ini, beleid ini akan mengenakan BMTP pada 134 pos tarif garmen, kecuali headwear dan neckwear.

BMTP atau safeguard tersebut akan dikenakan pada garmen impor yang berasal dari 122 negara, termasuk Cina. Alasannya karena lonjakan permintaan pada ramadan umumnya tidak dinikmati seluruhnya oleh pelaku industri TPT lokal karena serbuan impor dari Negeri Panda.

Berdasarkan hasil penyelidikan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI), derasnya barang impor ini telah membuat kerugian serius bagi produsen pakaian jadi dalam negeri yang sebagian besar adalah IKM.

Jemmy menilai safeguard ini untuk kepentingan yang lebih besar, terutama untuk menciptakan lapangan pekerjaan di kelas masyarakat bawah. Menurutnya penerapan safeguard adalah upaya untuk menyelamatkan empat juta tenaga kerja di IKM dan UMKM.  "Serta tiga juta tenaga kerja di industri besar sebagai penyuplai bahan bakunya yang juga menstimulasi kegiatan ekonomi lainnya di dalam negeri, termasuk tenaga kerja di sektor retail," ujar dia.

Reporter: Andi M. Arief