Sekitar 100 orang yang terdiri dari petani dan mahasiswa melakukan demo ke kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyikapi larangan eskpor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan sebagian produk turunannya. Kebijakan tersebut menyebabkan perusahaan kelapa sawit minim menyerap harga tandan buah segar (TBS) petani sehingga harganya anjlok.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, harga yang anjlok menyebabkan petani terpaksa setop memanen TBS karena tidak menguntungkan.
"Sekarang sudah tidak ada lagi memanen (TBS) karena tidak ada harganya. Upah panen Rp 1.000 (per kilogram/Kg), harga jual cuma Rp 1.400 per Kg, tekor kami Rp 600 per Kg (kalau panen)," kata Gulat saat menyampaikan aspirasi di depan kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (17/5).
Kebijakan larangan ekspor menyebabkan perusahaan kelapa sawit tidak bisa menyalurkan produknya ke dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan tangki penyimpanan minyak sawit mentah (CPO) telah penuh.
Tangki penyimpanan yang penuh tersebut akhirnya mendorong perusahaan kelapa sawit tidak menyerap TBS petani. Petani pun akhirnya mengalami kerugian hinga Rp 1,8 triliun.
Gulat menyampaikan, penghentian proses panen berbahaya karena bisa menurunkan tingkat produktivitas petani sawit. Jika tidak dipanen, tanaman kelapa sawit akan mengurangi hormon yang mengganggu produktivitas berikutnya dalam jangka waktu yang panjang.
" Sejauh ini, volume TBS yang tidak dipanen mencapai 6,58 juta ton, " ujarnya.
Gulat meminta agar pemerintah meninjau kembali aturan larangan ekspor CPO yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 22-2022. Dia menghitung kerugian yang ditimbulkan dari aturan tersebut telah mencapai Rp 11,7 triliun sejak diterbitkan hinga akhir April 2022.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton atau turun 0,31% dari capaian 2020 yang sebesar 47,03 juta ton.