Dewan Sawit Indonesia (DSI) mendorong pembangunan pabrik kelapa sawit (PKS) berskala kecil yang dekat dengan perkebunan kelapa sawit. Langkah ini penting untuk memangkas biaya transportasi dan meningkatkan kesejahteraan petani sawit.
Plt Ketua Umum DSI Sahat Sinaga mengatakan perlu ada perubahan pola pikir bahwa pembangunan PKS harus memiliki kapasitas produksi besar agar ekonomis. Sahat menilai pandangan tersebut betul, tapi tidak mensejahterakan petani sawit.
"Karena petani harus membawa (tandan buah segar /TBS sejauh) 60-70 kilometer. Ongkosnya bisa Rp 500 (per kilogram)," kata Sahat dalam webinar "Inovasi Sawit Dalam Industri Pangan", Rabu (25/5).
Sementara harga TBS sawit saat ini masih rendah. Berdasarkan infosawit.com, harga TBS hingga akhir Mei 2022 di Riau dengan umur pohon 10-20 tahun senilai Rp 2.693,45 per kilogram (Kg). Harga TBS terendah dimiliki pada pohon berumur 3 tahun atau senilai Rp 1.994,62 per Kg.
Jika biaya transportasi rendah, hal itu akan menambah keuntungan bagi petani. Untuk memangkas biaya transportasi, Sahat menyarankan agar pemerintah mendukung pembangunan PKS dengan radius terjauh sejauh 25 Km dari kebun sawit. Dukungan tersebut dapat berupa pendanaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sahat menilai, pabrik kecil tersebut dapat menggunakan teknologi Pabrik Minyak Sawit Tanpa Uap (PMTU). Menurutnya, PMTU memiliki tingkat efisiensi tinggi sehingga dapat menarik pembiayaan dari sekor perbankan jika BPDPKS tidak dapat mendukung program tersebut.
Dia menilai, penggunaan PMTU akan meningkatkan nilai tambah yang dinikmati oleh petani sawit. Produk yang dihasilkan petani sawit dalam perusahaan kelapa sawit (PKS) tidak hanya minyak sawit mentah (CPO) dengan adanya PMTU.
"Kalau selama ini (petani sawit) menjual Rp 100, (dengan PMTU petani sawit) bisa mendapatkan Rp 175 dari kebun sawit mereka," kata sahat.
Sahat menjelaskan, PMTU juga akan meningkatkan hasil produksi dari tandan buah segar (TBS) menjadi RBD Palm Oil hingga 5%. Selama ini, sterilisasi di industri CPO membuat hasil produksi susu 4% - 5% karena menggunakan uap.
Terakhir, Sahat menyampaikan penggunaan PMTU akan lebih ramah lingkungan karena mengurangi limbah hasil produksi dan meningkatkan efisiensi energi. Dia mendata proses sterilisasi degan uap menyerap daya hingga 20 kilowatt per ton TBS. Selain itu, proses penguapan juga menghasilkan emisi karbon dari limbah sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME) sebanyak 1,29 ton eCO2 per ton CPO.
Kepala Divisi Program Pelayanan BPDPKS Arfie Thahar mengatakan BPDPKS dapat mendukung proyek PTMU melalui program sarana dan prasarana. Bentuk PKS yang diusulkan oleh Arfie adalah PKS Mini yang memiliki kapasitas produksi lebih kecil dari pabrik pada umumnya sebesar 60-120 ton per hari.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung sebelumnya mengatakan saat ini petani sawit terhalang regulasi terkait pembentukan perusahaan kelapa sawit (PKS). Oleh karena itu, menurutnya, harus ada aturan khusus petani sawit dalam membuat PKS.
"Saya pikir, nggak bisa disamakan regulasinya dengan korporasi. Kami punya kebun, cuman terpencar. Jadi, harus dikasih regulasi khusus petani sawit," kata Gulat.
PKS adalah entitas yang menyerap tandan buah segar (TBS) untuk diubah menjadi minyak sawit mentah (CPO). Salah satu syarat untuk mendirikan PKS saat ini adalah memiliki lahan minimal 3.000 hektar dan memiliki mitra pekebun.
Gulat menilai syarat lain yang menahan pembentukan PKS oleh petani sawit adalah kemampuan produksi CPO sebesar 30 ton per jam. Saat ini, kemampuan produksi CPO oleh petani hanya mencapai 5 ton per jam.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak sawit dalam negeri pada Februari 2022 diperkirakan sebesar 3,8 juta ton, turun 9,3% dari bulan sebelumnya yang sebesar 4,2 juta ton.