Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit masih belum pulih meskipun pemerintah telah membuka keran ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai harus ada intervensi pemerintah terkait pemulihan harga TBS.
Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, mengatakan bahwa petani sawit sudah sejak lama memutuskan untuk setop panen TBS. Hal itu karena biaya panen TBS lebih rendah dari harga jualnya.
Menurut Gulat, pengusaha beralasan bahwa mereka sedikit menyerap TBS sawit petani karena tangki penyimpanan minyak sawit masih penuh. Meskipun demikian, Gulat menduga bahwa alasan tersebut hanya modus perusahaan kelapa sawit.
"Kami mengimbau PKS (Perusahaan Kelapa Sawit) dan refinery supaya move on dari alasan tangki timbun penuh karena tidak bisa ekspor. Atau, jangan-jangan ini menjadi modus untuk membeli TBS kami dengan harga murah?" kata Gulat kepada Katadata.co.id, Kamis (16/6).
Untuk memulihkan harga TBS, Gulat menyarankan Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka pasar lelang CPO. Gulat mengusulkan agar TBS hasil petani sawit diolah menjadi CPO oleh PKS milik PT Perkebunan Nusantara.
Gulat meminta agar proses tersebut terus berjalan hingga petani sawit dapat mendirikan PKS. "Setelah larangan ekspor dicabut pada 23 Mei 2022, harga TBS (yang dibeli PKS) sudah turun sampai 26% per 15 Juni 2022," kata Gulat.
Gulat mencatat tidak ada provinsi yang memilki harga TBS sesuai dengan harga yang ditetapkan masing-masing Dinas Perkebunan. Rata-rata harga yang ditetapkan oleh 22 Dinas Perkebunan (Disbun) adalah Rp 2.738.
Dia menilai, harga TBS yang ditetapkan Disbun merupakan keanehan. "Kalau harga (TBS yang ditetapkan) Disbun sudah anjlok, maka dipastikan akan diikuti oleh PKS sebagaimana saat ini," kata Gulat.
Selain itu, rata-rata harga TBS di lapangan hasil kebun swadaya pada 15 Juni 2022 tercatat lebih rendah Rp 648 per Kg dari harga pokok produksi (HPP) atau senilai Rp 1.602. Sementara itu, TBS produksi kebun yang bermitra dengan perusahaan kelapa sawit (PKS) ditaksir Rp 2.086 per Kg atau lebih rendah Rp 164 dari harga HPP.
Harga TBS terendah per 15 Juni 2022 mencapai Rp 1.400 per kg yang dialami oleh petani sawit di Provinsi Bengkulu, Banten, dan Gorontalo atau senilai Rp 1.400 per Kg. Sementara itu, harga TBS tertinggi mencapai Rp 2.300 per kg yang dialami petani sawit bermitra di Kalimantan Selatan dan Sumatra Utara.
Menurut Gulat, data tersebut menunjukkan bahwa ada disparitas perlakuan antara TBS hasil kebun mitra dengan TBS hasil kebun petani swadaya. Gulat mencatat, jumlah petani yang bermitra dengan PKS hanya sekitar 7% dari total petani sawit nasional.
Maka dari itu, Gulat menyarankan agar pemerintah merevisi Peraturan Menteri Pertanian No. 1-2018 agar tidak ada disparitas atara TBS hasil kebun mitra dan kebun swadaya. Selain itu, revisi beleid tersebut disarankan memuat konsekuensi hukum pidana dan perdata tegas apabila tidak patuh terhadap harga yang ditetapkan dinas perkebunan.
Terakhir, Gulat meminta agar pemerintah mencabut regulasi yang tumpang tindih. Salah satu beleid yang disoroti Gulat adalah aturan kewajiban pasar domestik (DMO) dan aturan penerbitan persetujuan ekspor (PE).
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengatakan bahwa penerbitan PKS yang membeli TBS di bawah harga dinas perkebunan tidak mungkin dipolisikan. Menurutnya, pemerintah telah memiliki kebijakan dan mekanisme yang tepat.
Namun demikian, Zulkifli tidak menjelaskan lebih lanjut kebijakan dan mekanisme terkait penertiban harga TBS yang dimaksud. Selain itu, Zulkifli menilai fenomena harga TBS yang terjadi saat ini merupakan hukum pasar.
"Saya kira, kalau (pemenuhan) DMO selesai, ekspor dipercepat, tangki kosong, produksi melonjak lagi. (Harga) TBS pasi akan naik lagi, Kalau ekspor (CPO) distop, nggak ada yang beli (TBS)," kata Zulkifli.
Mengutip catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), total volume ekspor minyak sawit pada Maret 2022 hanya mencapai 2,01 juta ton, turun 3,14% dari bulan sebelumnya yang sebesar 2,09 juta ton.