Komoditas cabai kerap memiliki fluktuasi yang tinggi karena bisa melambun tinggi di satu waktu, lalu anjlok di masa tertentu. Hingga saat ini, pemerintah belum berhasil meredam fluktuasi harga cabai yang tinggi tersebut.
Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krinsamurthi, menilai cabai merupakan bahan pangan yang tidak bisa disimpan dalam jangka waktu lama. Dengan demikian, kondisi stok cabai sangat berpengaruh pada cuaca dan musim panen.
Sebenarnya, fluktuasi harga cabai bisa ditekan jika ada stok penyangga atau buffer stock bagi komoditas cabai. Iru berarti, sebagian cabai yang dipanen akan diolah terlebih dahulu sehingga bisa disimpan dalam waktu lama.
Namun demikian, Bayu mengatakan, strategi stok penyangga atau buffer stock untuk komoditas cabai sulit dilakukan karena masyarakat Indonesia lebih menyukai konsumsi cabai segar. Selain itu, penyimpanan cabai agar tetap segar masih sangat mahal.
"Jadi, solusi stok cabai segar belum bisa jadi opsi yang feasible saat ini. Untuk cabai, lebih managable untuk menyebar produksi, baik antar daerah ke daerah dan ntar waktu," kata Bayu kepada Katadata.co.id, Selasa (21/6).
Bahan Pangan Nasional (BPN) mendata harga cabai di pengecer dapat mencapai Rp 95.000 - Rp 100.000 per Kg. Oleh karena itu, pemerintah akan memfasilitasi pendistribusian cabai rawit merah dan bawang merah dari wilayah surplus ke wilayah defisit.
"Adapun sumber cabai rawit merah yang harganya paling murah saat ini ada di Sulawesi Selatan dengan harga di tingkat petani kisaran Rp 50.000 - 55.000/Kg," kata Kepala BPN Arief Prasetyo Adi belum lama ini.
Arief juga menargetkan harga cabai merah dapat mencapai Rp 60.000 - Rp 65.000 degan strategi tersebut. Artinya, ada penurunan harga hingga 84,61% dari harga cabai merah saat ini di rentang Rp 100.000 - RP 120.000 per Kg.
Maka dari itu, Arief mengatakan akan memasok kebutuhan cabai di beberapa pasar DKI Jakarta dari Sulawesi Selatan. Beberapa pasar yang dimaksud adalah Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Induk Tanah Tinggi, Pasar Induk Cibitung.
Salah satu alasan tingginya harga cabai adalah menurunnya pasokan saat masa panen raya akibat penyakit antraknosa. Penyakit tersebut membuat sebagian besar petani cabai gagal panen.
Asosiasi Champion Cabai Indonesia (ACCI) memproyeksikan penyakit antraknosa membuat petani gagal memanen cabai hingga 60% dari perkiraan panen semester I-2022. Kementerian Pertanian (Kementan) meramalkan produksi kotor cabai selama semester I-2022 lebih dari 200.000 ton per bulan.
"Kalau (panen) dua bulan terakhir, saya bisa mengatakan (panen cabai) turun sekitar 50% - 60% dari perkiraan," kata Ketua ACCI Tunov Mondro Atmodjo.
Tunov menganalogikan setiap panen sebanyak dua karung cabai, setidaknya 1,5 karung rusak terkena hama. Selain itu, tingkat keterjangkitan hama antraknosa sangat cepat, sehingga kegagalan panen cabai hampir terjadi di penjuru negeri.
Artinya, kenaikan harga cabai saat ini disebabkan oleh minimnya pasokan cabai di pasar-pasar tradisional karena gagal panen. Turnov mengatakan sebagian daerah pun menjual cabai dengan harga lebih tinggi dari DKI Jakarta.
"Apakah itu hal yang normal? Normal. Kalau cabai seperti itu (biasanya mekanisme pasar yang terjadi)," kata Turnov.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat rata-rata harga cabai merah keriting (per kg) harian di pasar modern di beberapa provinsi telah menyentuh angka Rp 76,58 ribu per kg, data per Senin, 20 Juni 2022. Secara keseluruhan, rata-rata minggu ini naik dibandingkan rata-rata minggu sebelumnya yang tercatat Rp. 63,09 ribu per kg.