Sekitar 123 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dilaporkan menghentikan operasinya dan berhenti menyerap tandan buah segar (TBS) sawit. Pabrik ini menghentikan operasi seiring melambatnya realisasi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin Emil Satria mengatakan permasalahan terhambatnya ekspor sawit ini bukan disebabkan kebijakan pemerintah. "Yang enggak lancar bukan di pemerintah. Dia (eksportir) gak punya (kontrak dengan) kapal (untuk ekspor)," kata Emil kepada Katadata.co.id, Rabu (13/7).
Dia mengatakan pemerintah sudah berupaya mempercepat ekspor CPO dari sisi regulasi dan program ekspor. Langkahnya lewat penerbitan kebijakan Flush-Out (FO), menaikkan angka koefisien distribusi aturan kewajiban pasar domestik (DMO) dan Persetujuan Ekspor (PE), dan peluncuran MINYAKITA.
"Jadi, upaya (kami dalam percepatan ekspor), kami sudah longgarkan semua (regulasi), kalau (eksportir) enggak bisa bawa (CPO ke negara tujuan ekspor) kan enggak bisa juga (tangki penyimpanan CPO cepat kosong)," kata Emil.
Sebelumnya Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendata sebanyak 123 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) berhenti beroperasi menyerap tandan buah segar (TBS) sawit. Kondisi ini disebabkan perusahaan sawit kesulitan mengekspor sejak pemerintah membuka kembali keran ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya pada Mei.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung mengatakan pabrik sawit berhenti mengolah TBS sawit karena lambatnya laju penyerapan CPO oleh industri antara dan hilir. Penyetopan operasi ini membuat harga TBS sawit semakin lemah. "Tangkinya (PKS) itu sudah di level merah. Semakin banyak pabrik yang tutup (serapan TBS sawit), semakin enggak ada harga TBS. Ini semua mengakibatkan ketidakpastian industri sawit Indonesia," kata Gulat kepada Katadata.co.id, Selasa (12/7).
Plt. Ketua Umum Dewan Sawit Indonesia (DSI) Sahat Sinaga sebelumnya mengatakan ekspor CPO dan produk turunannya terkendala setelah pemerintah pernah menutup keran ekspor. Dia mengatakan kepercayaan terhadap pengusaha menjadi berkurang.
"Pengusaha luar negeri sudah tidak percaya pada pengusaha republik. Mereka mau mengimpor (CPO) kalau sudah ada (penerbitan) PE (persetujuan ekspor)," kata dia.
Berbagai Kebijakan Percepatan Ekspor CPO
Program Flush-Out atau FO mengizinkan eksportir yang tidak tergabung dalam Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (Simirah) mengekspor dengan membayar tambahan pajak. Dengan kata lain, program ini memperbolehkan pengusaha bisa ekspor CPO tanpa memenuhi aturan domestic market obligation (DMO). Namun pajak ekspor CPO yang harus dibayarkan naik menjadi US$ 688 per ton karena tambahan pajak FO senilai US$ 200 per ton.
Pemerintah menetapkan angka koefisien Penerbitan Ekspor (PE) yakni 1:7. Artinya, setiap pengiriman 1 ton minyak goreng hasil DMO, pemerintah akan mencatat volume CPO yang berhak didapatkan eksportir tersebut adalah 7 ton.
Pada 23 Mei 2022, pemerintah menetapkan angka koefisien saldo PE sebesar 1:3 sebelum naik menjadi 1:5 pada pertengahan Juni 2022. Namun demikian, Dewan Sawit Indonesia (DSI) telah mengusulkan agar angka pengali saldo PE sebanyak 1:8,5 agar laju ekspor CPO cepat dan lancar.
Sebelum dikalikan dengan angka penghitungan PE, eksportir dapat menambah volume pemenuhan DMO dengan dua cara, yakni mengirim minyak goreng ke tempat yang lebih sulit dijangkau atau secara regional dan mengemas minyak goreng hasil DMO menjadi MinyaKita atau secara kemasan.
Emil mengatakan koefisien regional adalah 1,35 jika mengirimkan minyak goreng hasil DMO ke bagian timur Indonesia, seperti Maluku dan Papua. Sementara itu, eksportir akan mendapatkan koefisien kemasan sebesar 1,1 jika mengemas minyak goreng dalam kemasan bantal atau kilo-pack, sedangkan pengemasan dalam bentuk lainnya mendapatkan koefisien tambahan 1,2.
Simulasinya, jika eksportir mengirimkan minyak goreng hasil DMO berupa MinyaKita dalam bentuk jerigen ke Maluku, eksportir akan mendapatkan tambahan koefisien sebesar 1,55. Jika volume minyak goreng hasil DMO yang dikirimkan mencapai 1.000 ton, volume DMO yang dipenuhi sebesar 1.550 ton, sedangkan PE CPO yang didapatkan adalah 10.850 ton.
Tangki Penyimpanan CPO di Posisi Waspada
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyatakan saat ini tangki penyimpanan CPO telah ada di posisi waspada atau sebanyak 6,3 juta ton. Total tangki penyimpanan CPO dan turunanya secara nasional mencapai 7 juta ton.
"Kami berharap begitu (ekspor lancar pada akhir Juli 2022 atau Agustus 2022), tapi sampai saat ini sepertinya masalah kapal menjadi hambatan utama," kata Eddy kepada Katadata.co.id.
Gapki mencatat total ekspor sejak 23 Mei - 12 Juli 2022 mencapai 2,1 juta ton. Menurutnya, rata-rata ekspor CPO dan turunannya mencapai 2,5 juta - 3 juta ton per bulan.
Eddy menilai perlu ada percepatan proses ekspor CPO agar harga TBS kembali normal. Strategi yang diusulkan adalah relaksasi sementara aturan kewajiban pasar domestik (DMO) dan kewajiban harga domestik (DPO).
Sahat Sinaga mengatakan proses produksi industri CPO nasional dapat terdistrupsi pada Agustus 2022 jika proses ekspor tidak kembali lancar pada akhir Juli 2022. Sahat menghitung volume ekspor yang keluar pada akhir Juli harus mencapai 2,6 juta ton agar proses produksi per Agustus tidak terganggu.
Sahat memproyeksikan kebutuhan minyak sawit akan meningkat untuk kebutuhan industri biodiesel. Kebutuhan minyak sawit di pasar dalam negeri untuk kebutuhan biodiesel, dari B-30 ke B-35.
"Kalau (volume ekspor CPO pada akhir Juli 2022) di bawah itu (2,6 juta ton), alur (produksi industri) sawit pada Agustus 2022 akan berbahaya, jadi terseok-seok jadinya," kata Sahat.
Saat pemerintah mengambil kebijakan penyetopan ekspor CPO, Malaysia dianggap mengambil alih pangsa pasar Indonesia. Namun,
berdasarkan data Trade Map, nilai ekspor CPO Malaysia ternyata sudah mengungguli Indonesia sejak kuartal II 2021 ketika ekspor CPO Indonesia belum dilarang. Berikut grafik Databoks: