Industri Makanan dan Minuman Naikkan Harga Jual Imbas Pelemahan Rupiah

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.
Pekerja menjemur kerupuk tapioka di rumah industri kerupuk "Doa Ibu" kawasan Tambun Rengas, Rorotan, Jakarta Utara, Selasa (7/6/2022). Menurut pelaku usaha kerupuk, mereka terpaksa memperkecil ukuran kerupuk karena naiknya berbagai harga bahan baku seperti tepung tapioka, minyak goreng, dan gas elpiji.
14/7/2022, 18.36 WIB

Sebagian produsen makanan dan minuman menaikkan harga jual produknya ke konsumen akibat kenaikan bahan baku impor dan juga pelemahan Rupiah terhadap Dolar AS.  Kenaikan harga jual ini terpaksa dilakukan karena biaya produksi semakin tinggi.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) , Adhi S. Lukman, mengatakan bahwa sebagian produsen makanan dan minuman terpaksa menaikkan harga jual produknya terutama yang berskala industri kecil dan menengah (IKM). Hal itu karena IKM tidak memiliki stok jangka panjang sehingga rentan terhadap perubahan harga bahan baku.

Kondisi itu berbeda dengan industri besar yang memiliki kontrak bahan baku jangka panjang. Mereka relatif tidak rentan  terhadap perubahan harga bahan baku.

"Kalau (industri makanan) yang besar punya kontrak hingga Desember 2022, itu masih tertolong," kata Adhi di Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kamis (14/7).

Selain itu, Adhi mengatakan, bahwa industri dengan jenis bahan baku bervariasi juga cenderung bisa menahan kenaikan harga, misalnya mie instan. Sementara industri dengan bahan baku tunggal atau minimal cenderung rentan untuk menaikkan harga seperti tepung terigu, tempe, dan minyak goreng. 

Adhi mengatakan, keputusan menaikkan harga bisa berdampak pada berkurangnya serapan produk di pasar. Pasalnya tingkat konsumsi masyarakat saat ini masih rendah. Namun hal itu terpaksa dilakukan karena beban biaya produksi yang semakin tinggi.

"Tapi, kalau ini (kenaikan harga bahan baku dan depresiasi Rupiah) terus menerus (terjadi) dalam jangka panjang akan berat," kata Adhi.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan industri makanan tidak bisa dengan cepat merespon kenaikan harga bahan baku impor maupun depresiasi Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Strategi yang dipilih produsen makanan pada akhirnya adalah mengurangi margin yang diterima saat ini.

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin, Emil Satria, mengatakan saat ini sebagian industri makanan tidak memiliki margin sama sekali. Untuk mengurangi biaya produksi, Emil menemukan pabrikan daging olahan dan ikan olahan yang menghentikan pembelian bahan baku.

"Mereka menunda dulu pembelian impor. Kalau naik terus (harga bahan baku impor) begini, mereka tidak bisa menaikkan serta-merta (harga jual ke konsumen)," kata Emil kepada Katadata.co.id.

Nilai tukar rupiah dibuka melemah tujuh poin ke level Rp 14.999 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Pelemahan rupiah terimbas rilis data inflasi AS bulan Juni yang kembali menanjak dan mendorong kembali menguatnya sentimen The Fed.

Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke level Rp 15.011 pada pukul 09.15 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan kemarin di Rp 14.992 per dolar AS.

Sementara itu, rata-rata indeks harga pangan Food and Agriculture Organization (FAO) turun 3,7 poin (2,3%) ke level 154,2 pada Juni 2022 dibanding bulan sebelumnya (month to month/m-to-m). Penurunan harga pangan dunia didorong oleh turunnya harga minyak sawit, bunga matahari, kedelai dan lobak. Harga minyak sawit turun dalam tiga bulan secara beruntun disebabkan oleh peningkatan produksi musiman dari produsen utama dan meningkatnya prospek pasokan ekspor dari Indonesia di tengah membaiknya persediaan.

Reporter: Andi M. Arief