Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerapkan kebijakan Pungutan Ekspor (PE) minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebesar nol persen, selama 15 Juli - 31 Agustus 2022.
Kebijakan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 tahun 2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Pembebasan pajak ini berlaku untuk tandan buah segar, CPO hingga produk turunannya.
Salah satu tujuan pemerintah menerapkan aturan ini adalah mempercepat ekspor CPO, sehingga dapat menjaga keseimbangan stok dan harga. Tak lama setelah kebijakan ini berlaku, harga tandan buah segar (TBS) di petani merangkak naik hingga di atas Rp 1.000 per kilogram (kg) pada awal pekan ini.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sebelumnya telah menargetkan harga TBS sawit di tingkat petani dapat mencapai Rp2.400 per kg. "Kita akan melakukan segala upaya untuk tandan buah segar ini. Saya sudah hitung ya, harusnya harganya Rp2.400," kata Zulkfili di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (17/7) seperti dikutip Antara.
TBS adalah buah kelapa sawit setelah dilepas dari tandan, yang kemudian diolah dan diproses menjadi dua produk utama, yakni minyak sawit mentah atau CPO dan minyak inti sawit atau PKO.
Berdasarkan data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), harga rata-rata TBS sawit dari kebun petani swadaya adalah Rp 1.084 pada 16 Juli 2022. Harga ini naik dari sebelum kebijakan diumumkan, pada 14 Juli 2022 harga TBS sawit dari kebun petani swadaya sekitar Rp 916 per Kg.
Meski kebijakan PE nol persen dapat mendongkrak harga CPO, dan pada akhirnya turut merangsang harga TBS sawit, menurut Ketua Apkasindo Gulat Manurung, ada faktor krusial lain yang justru membuat carut marut penetapan harga TBS sawit di petani.
"Perlu dicatat bahwa anjloknya harga TBS petani tidak semata tunggal karena PE, ada beberapa faktor lain yang justru lebih menekan, terutama patokan harga CPO Indonesia," ujar Gulat saat dihubungi, Selasa (19/7).
- Simulasi perhitungan harga TBS sawit
Untuk menentukan harga CPO di Indonesia, terdapat 3 patokan yang menjadi rujukan. Pertama harga referensi yang ditentukan Kementerian Perdagangan, harga Rotterdam, dan ketiga tender PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN).
Gulat pun membuat simulasi harga berdasarkan ketiga opsi tersebut:
- Harga TBS Petani berpatokan kepada referensi Kemendag Juli yang mencapai USD 1.615 per ton. Jika dikurangi beragam beban seperti Flush Out (FO) dan Bea Keluar (BK) maka harganya sekitar USD 488 per ton, sehingga harga CPO Indonesia mencapai Rp16.900 per kg.Jika dengan asumsi rendemen 20%, maka harga TBS petani berada pada kisaran Rp3.380 per kg. Sebelum penghapusan PE harga TBS petani dapat mencapai Rp2.750.
- Harga TBS Petani berpatokan ke harga CPO Rotterdam. Berdasarkan data per 13 Juli lalu, harga CPO Rotterdam USD 1.205 per ton, dikurangi beban-beban seperti FO dan BK sekitar USD 488, maka harganya sekitar USD 717 per ton.Artinya harga CPO Indonesia menjadi Rp10.755 per kg, sehingga dikonversikan ke harga TBS petani sekitar Rp2.150 per kg. Sementara harga TBS sebelum PE dihapus adalah Rp1.500/kg.
- Terakhir menggunakan harga TBS petani yang berpatokan kepada hasil tender KPBN. Pengapusan PE telah mendongkrak harga CPO domestik sebesar Rp3.000 per kg. Jika harga CPO versi KPBN Rp8.000 per kg, dan menghitung dampak penghapusan PE sebesar USD 200, maka harga CPO akan menjadi Rp11.000 per kg. Artinya harga TBS petani minimum jatuh pada Rp2.200 per kg. Harga TBS petani sebelum PE nol persen seharusnya di kisaran Rp1.600 per kg.
- Apa yang mempengaruhi harga TBS sawit?
Harga TBS sawit sangat bergantung kepada harga CPO, sehingga penentuannya pun dipengaruhi terkait dengan jumlah ketersediaan stok.
Berdasarkan data Apkasindo, stok CPO Indonesia per awal Juli, setelah dikurangi konsumsi domestik, telah mencapai 10,9 juta ton. Pada keadaan normal, stok dalam negeri ada pada kisaran 3-4 juta ton per bulan. "Berarti sudah 300% di atas normal," kata Gulat.
Harga TBS sawit di lapangan umumnya mengacu kepada rujukan hasil tender KPBN. Perhitungannya berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018, dengan rumus harga pembelian TBS sebagai berikut:
HTBS(P) = K(P-1) {(HCPO(P) X RCPO(Tab)) + (HPK(P) X RPK(Tab))}
- HTBS(P): Harga TBS yang diterima oleh petani di tingkat pabrik, dinyatakan dalam rupiah per kg, pada periode berjalan (P).
- K(P-1): Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh petani, dinyatakan dalam persentase (%) pada periode sebelumnya.
- HCPO(P): Harga rata-rata CPO tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada periode berjalan, dinyatakan dalam rupiah per kg.
- HPK(P): Harga rata-rata PK tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada periode berjalan, dinyatakan dalam rupiah per kg.
- RCPO(Tab): Rendemen CPO tabel dinyatakan dalam persentase.
- RPK(Tab): Rendemen PK tabel dinyatakan dalam persentase.
- Akan tetapi, dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 55 Tahun 2015, sumber harga untuk refensi produk kelapa sawit dari bursa Indonesia dan Malaysia didasarkan pada harga penutupan atau settlement price untuk penyerahan bulan terdekat. Sedangan pada harga Rotterdam, didasarkan harga spot untuk penyerahan bulan terdekat.
Harga referensi tersebut didasarkan kepada harga rata-rata tertimbang Cost Insurance Freight (CIF) CPO dari Rotterdam, Malaysia dan Indonesia, dengan pembobotan 20% harga dari Rotterdam, 20% harga bursa Malaysia dan 60% harga bursa Indonesia.
Gulat menilai, pemerintah seharusnya menetapkan harga CPO mengacu kepada Permendag, aturan yang telah lebih dulu ada. Sebab harga ini lebih menguntungkan untuk petani. Jika merujuk ke harga referensi Kemendag, dengan tidak berlakunya DMO, DPO, dan FO, seharusnya harga TBS petani per 1 Juli – 16 Juli sudah Rp3.380 per kg. Kemudian, ditambah dengan PE nol persen, harga TBS petani dapat mencapai Rp3.980 per kg.
Dengan adanya kepastian rujukan, Gulat yakin Perusahaan Kelapa Sawit (PKS) tidak semena-mena lagi membeli TBS petani. Selain itu, PKS tanpa industri hilir tetap mendapatkan kepastian dan transparansi harga jual CPO ke refinary, dan eksportir mendapatkan haknya. "Apkasindo meminta Kemendag mengeluarkan aturan tegas, satu negara mengacu pada satu rujukan harga. Di Thailand bursa Thailand. Malaysia ada bursa Malaysia," ucap Gulat.
Sementara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengusulkan agar pemerintah menghentikan sementara kewajiban DMO dan DPO untuk mempercepat ekspor CPO. Menurut Sekretaris Jenderal Gapki, Eddy Martono, perbaikan harga TBS sawit sangat bergantung pada kondisi stok CPO di dalam negeri.
"Kondisi saat ini stok sangat tinggi. Kalau ekspor tidak lancar, stok terus bertambah, bahkan produksi (CPO) bisa berhenti. Ini bisa menghambat kenaikan harga TBS (sawit) petani," kata Eddy kepada Katadata.co.id, Senin (18/7).
Berdasarkan data GAPKI, volume ekspor minyak sawit nasional pada Mei 2022 mencapai 678 ribu ton. Jumlah ini anjlok 68% dari volume ekspor April 2022 yang mencapai 2,1 juta ton.
Penurunan drastis ini terjadi akibat pelarangan ekspor minyak sawit yang diberlakukan selama periode 28 April-22 Mei 2022.