Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, menduga ada ribuan ribuan hektare kebun sawit tanpa izin yang ada di kawasan hutan. Sebanyak 1.515 hektare kebun sawit tersebut diduga milik PT agro Muko.
"Kami sudah memberikan teguran kepada perusahaan ini dan menyampaikan aktivitas perusahaan kepada Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPHK)," kata Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Mukomuko Aprin Sihaloho, di Mukomuko, seperti dikutip dari Antara, Minggu (4/9).
Dia mengatakan, KPH memberikan waktu selama tiga tahun bagi perusahaaan tersebut untuk mengirim izin pelepasan atau pinjam pakai.
KPH Kabupaten Mukomuko memiliki wilayah kerja dalam kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 78 ribu hektare. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan sebelumnya 74 ribu hektare. Dari kawasan hutan seluas 78 ribu hektare tersebut, termasuk hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang telah ditanami kelapa sawit oleh PT Agro Muko.
Sebelum menjadi HPK, Aprin mengatakan, kawasan tersebut merupakan HPT Air Manjuto dan ditanami tanaman karet oleh perusahaan tersebut. "Dulunya kawasan hutan tersebut ditanami karet, kini semua hutan seluas 1.515 hektare tersebut ditanami sawit," ujarnya.
Selain PT Agro Muko, menurut Aprin, KPH juga menduga terdapat 48 hektare kebun kelapa sawit milik PT Alno yang berada di kawasan hutan dan belum mendapatkan izin. Sesuai aturan, perusahaan tersebut diberi waktu selama tiga tahun untuk mengurus izin pelepasan atau pinjam pakai.
Seluas 48 hektare kebun kelapa sawit milik PT Alno ini berada di Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh I. Dari seluas 48 hektare lahan perkebunan yang masuk dalam kawasan hutan negara tersebut, ada sebagian yang telah ditanami kelapa sawit, tetapi ada sebagian juga yang belum.
PT Alno melakukan aktivitas dalam kawasan hutan, karena puluhan hektare kebun kelapa sawit tersebut masuk dalam lokasi izin hak guna usaha (HGU) milik perusahaan tersebut. Sedangkan PT Agro Muko melakukan aktivitas dalam kawasan hutan yang berada di luar izin hak guna usaha.
Analisis organisasi nirlaba CDP menemukan perusahaan pembeli minyak kelapa sawit dari Indonesia umumnya tidak memiliki target dan penanda capaian yang ambisius untuk komitmen tanpa deforestasi. CDP menunjukkan hanya ada 52% perusahaan yang targetnya berkaitan dengan komitmen tanpa deforestasi atau tanpa konversi.
Dari perusahaan-perusahaan tersebut, ada 43% yang memiliki target pelaporan sertifikasi pihak ketiga untuk produk sawit yang mereka beli. Lalu, 28% perusahaan juga menargetkan kemampuan telusur atau traceability.
Kemudian, hanya ada 8% perusahaan yang melaporkan penilaian dan/atau verifikasi kepatuhan. Lalu, 7% perusahaan melibatkan pemasok tingkat pertama. Hanya 5% melaporkan target pelibatan petani kelapa sawit, 2% melaporkan target restorasi ekosistem, dan hanya 1% yang melaporkan target pelibatan pemasok di luar tingkat pertama.