Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia atau Apkasindo mendata luas perkebunan kelapa sawit ilegal yang masuk hutan mencapai 3,4 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2,65 juta hektare milik petani rakyat dan sisanya korporasi.
Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, mengatakan Undang-Undang No. 11-2020 tentang Cipta Kerja telah memberikan jalan keluar agar perkebunan kelapa sawit milik petani yang masuk kawasan hutan bisa menjadi legal. Akan tetapi, persyaratan yang tercantum dalam UU Cipta Kerja dinilai terlampau sulit untuk dilakukan petani kelapa sawit.
"Saya sangat pesimistis petani sawit bisa mengikuti prosedur UU Cipta Kerja, khususnya petani perseorangan yang luas kebunnya kecil atau sekitar 2-10 hektar karena dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk melengkapi persyaratan," kata Gulat kepada Katadata.co.id, Selasa (6/9).
Gulat mencatat telah ada 100.000 hektare kebun sawit petani dalam kawasan hutan yang dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK untuk diselesaikan. Namun demikian, seluruh kawasan yang dilaporkan tersebut belum dapat keluar dari kawasan hutan karena sulitnya persyaratan yang diminta.
Setidaknya ada 16 persyaratan yang diminta pemerintah agar kebun sawit yang masuk kawasan hutan dapat dikeluarkan dari kawasan hutan. Gulat menilai ada dua syarat yang sangat sulit dipenuhi petani. Syarat pertama yaitu laporan keuangan yang diaudit, kedua yaitu citra satelit time series resolusi tinggi sebelum penerbitan Izin Usaha Perkebunan hingga 2020 dalam bentuk data mentah.
Di samping itu, setidaknya ada lima jenis peta dalam 16 persyaratan tersebut. Gulat menghitung, biaya yang dibutuhkan untuk membuat seluruh peta tersebut adalah Rp 200.000 - Rp 400.000 per hektar.
Gulat mengatakan, UU Cipta Kerja tidak mencantumkan sumber pendanaan untuk verifikasi tersebut. Dengan demikian, petani sawit harus menyediakan dana tersebut secara mandiri. Artinya, dana yang dibutuhkan untuk memverifikasi seluruh kawasan kelapa sawit keluar dari kawasan hutan setidaknya Rp 530,4 miliar.
Sebagai informasi, pemerintah memberikan ultimatum agar seluruh kebun sawit yang masuk kawasan hutan untuk melakukan verifikasi ulang oleh KLHK hingga 2023. Gulat menyatakan seluruh proses verifikasi saat ini terhenti pada pelaporan mandiri ke KLHK karena sulitnya persyaratan tersebut.
"Meskipun sudah ada UU Cipta Kerja, masih sangat sedikit petani yang mengikuti proses verifikasi karena persyaratannya cukup berat. Mustahil bisa dikerjakan selevel petani sawit," kata Gulat.
Berikut 16 persyaratan yang harus dipenuhi untuk melalui proses verifikasi:
> Citra satelit time series resolusi tinggi sebelum IUP sampai 2020
> SHP IUP
> SHP lokasi yang dimohon
> SHP lokasi yang terbuka
> Peta IUP bagi kebun sawit korporasi
> Peta lokasi yang dimohon
> Profil perusahaan/kelompok tani/koperasi
> Kronologis dokumen perizinan
> Dokumen izin lingkungan
> NPWP
> Nomor Izin Berusaha
> Laporan Keuangan Audit
> Pakta integritas 2022
> Batas-batas areal yang dimohon
> Akte Pendirian perusahaan/kelompok tani
> Akte perubahan perusahaan
Sementara itu sejak 2011, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan sertifikasi lahan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan nama Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Mengutip data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), sampai Maret 2021 Indonesia sudah memberikan sertifikat ISPO untuk lahan kebun sawit dengan luas kumulatif 5,78 juta hektare (ha).
Angka tersebut baru sekitar 45% dari total lahan kebun sawit produktif di Indonesia yang luasnya 12,6 juta ha pada 2021.