Kebijakan pemerintah untuk melarang ekspor bijih nikel mulai awal tahun 2020 membuahkan hasil yang positif. Nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah memberlakukan kebijakan tersebut.
Hal ini terlihat dari nilai ekspor komoditas turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 yang mencapai US$ 12,35 miliar atau tumbuh hingga 263% jika dibandingkan tahun 2019, sebelum pemberlakuan larangan ekspor bijih nikel yang hanya mencapai US$ 3,40 miliar.
“Enam tahun yang lalu, ekspor kita dari nikel kira-kira hanya US$ 1,1 miliar. Sedangkan, pada 2021 sudah mencapai US$ 20,9 miliar. Artinya, nilai tambah lompatannya hingga 19 kali,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita lewat keterangannya di Jakarta, Minggu (18/9).
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah terus memacu tumbuhnya industri smelter yang terbukti memberikan multiplier effect atau efek pengganda yang luas bagi perekonomian nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, industri pengolahan menjadi kontributor terbesar jika dilihat menurut sektornya, dengan nilai ekspor mencapai US$ 19,79 miliar pada Agustus 2022. Pengapalan sektor manufaktur ini mengalami pertumbuhan 13,49% apabila dibandingkan dengan nilai posisi pada Juli 2022.
“Kenaikan ekspor ini didorong oleh komoditas minyak kelapa sawit, besi baja, peralatan listrik, kendaraan dan bagiannya, serta turunan nikel,” imbuh Agus.
Sampai saat ini, Kementerian Perindustrian fokus memacu hilirisasi industri berbasis agro, bahan tambang mineral, serta migas dan batu bara.
Menurutnya, banyak manfaat yang telah didapatkan Indonesia dari implementasi kebijakan hilirisasi, antara lain menghasilkan nilai tambah, memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan pekerjaan, dan memberikan peluang usaha.
“Melalui hilirisasi, Indonesia tidak lagi menjual barang mentah, namun sudah diolah baik itu produk setengah jadi maupun menjadi produk akhir,” ujar Menperin.
Industri pengolahan mencatatkan nilai ekspor sepanjang Januari-Agustus 2022 sebesar US$ 139,23 miliar atau naik 24,03% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Sektor industri memberikan kontribusi paling besar, dengan sumbangsih hingga 71,55% terhadap total nilai ekspor nasional yang menembus US$ 194,60 miliar.
“Kinerja ekspor dari sektor industri manufaktur masih terus melambung, meskipun berada di tengah risiko ketidakpastian kondisi global yang membayangi ekonomi nasional,” kata Agus.
Menperin menegaskan pengapalan sektor industri manufaktur konsisten memberikan andil yang besar terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia.
“Neraca perdagangan kita surplus selama 28 bulan berturut-turut, dan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dalam pemulihan ekonomi berada pada jalur yang tepat,” ungkapnya.
Merujuk data BPS, neraca perdagangan secara kumulatif pada Januari-Agustus 2022 mengalami surplus sebesar US$ 34,92 miliar atau tumbuh 68,6% dibandingkan periode sama tahun lalu.
“Surplus neraca perdagangan tidak terlepas dari program hilirisasi industri yang terus kami jalankan, guna meningkatkan nilai tambah sumber daya alam di Indonesia,” tutur Agus.
Adapun kebijakan pemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah memicu gugatan dari Uni Eropa yang dilayangkan melalui WTO pada November 2019.
Dalam gugatannya, UE menilai bahwa Indonesia telah melanggar komitmen anggota WTO untuk memberikan akses seluasnya bagi perdagangan internasional, termasuk di antaranya produk nikel mentah.
Indonesia kini sedang menunggu hasil akhir dari proses penyelesaian sengketa dagang yang dilayangkan oleh Uni Eropa dalam sidang WTO terkait larangan ekspor bijih nikel. Gugatan tersebut sedang dalam proses panel sengketa awal dan masih menunggu keputusan final dari WTO.