Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau GAPKI mencatat bahwa ekspor produk sawit Indonesia ke uni Eropa pada Agustus 2022 mencapai 506,8 ribu ton, atau naik 51,7% dari bulan sebelumnya yang mencapai 334 ribu ton. Uni Eropa merupakan pembeli produk sawit Indonesia yang mengalami peningkatan ketiga terbesar setelah India dan Cina.
Ketua GAPKI, Joko Supriyono, mengatakan bahwa perang Rusia dan Ukraina menyebabkan suplai minyak nabati khususnya minyak biji bunga matahari menjadi terganggu. Hal itu berdampak tidak langsung pada permintaan minyak kelapa sawit Indonesia.
Dia mengatakan, sebagian manufaktur Uni Eropa kembali menggunakan minyak kelapa sawit saat kesulitan mendapatkan pasokan minyak bunga biji matahari.
"Tadinya dia hindari palm oil, tapi saat kesulitan suplai, dia gunakan palm oil," ujarnya dalam konferensi pers penyelenggaraan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) secara virtual, Rabu (12/10). IPOC ke-18 pada tahun ini kembali digelar secara luring di Westin Hotel, Nusa Dua, Bali pada 2-4 November.
Selain manufaktur, Joko mengatakan, minyak kelapa sawit juga mulai dijual kembali di ritel. "Contohnya beberapa bulan lalu ada berita jika supermarket di Inggris yang tadinya tidak gunakan palm oil, sekarang mulai jual lagi," ujarnya.
Momentum ekspor sawit
Menurut Joko, minimnya pasokan minyak nabati lain seharusnya menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengekspor minyak sawit ke pasar global. Namun demikian, dinamika penjualan produk sawit Indonesia sempat terkendala kebijakan larangan ekspor yang dterapkan pada 28 April hingga 23 Mei 2022.
"Makanya kami berikan masukan pemerintah, saat pasar butuh palm oil, kita harusnya justru berikan kemudahan ekspor. Tapi pemerintah kita terlalu reaktif melihat kondisi domestik," ujarnya.
Berdasarkan catatan GAPKI, ekspor seluruh produk sawit Indonesia pada Agustus 2022 mencapai 4,33 juta ton. Jumlah tersebut naik 1,63 juta ton dari Juli 2022 yang mencapai 2,7 juta ton.
Kenaikan ekspor tertinggi adalah jenis olahan CPO dari 1,92 juta ton pada Juli 2022 menjadi 2,97 juta ton pada Agustus 2022.
Pada Agustus 2022, nilai ekspor produk sawit mencapai US$ 4,8 miliar, naik US$ 900 juta dibandingkan nilai ekspor produk sawit Juli 2022 sebesar US$ 3,8 miliar.
Kenaikan nilai ekspor tersebut terjadi di tengah penurunan harga CPO Cif Rotterdamturun dari US$ 1.203/ton pada Juli menjadi US$ 1.095/ton pada Agustus.
Gugatan Sawit di WTO
Pada 2019, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia secara resmi menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait diskriminasi kelapa sawit Indonesia. Pemerintah mengajukan gugatan pada Senin (9/12/2019) di Jenewa, Swiss.
Kebijakan yang digugat yaitu Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa. Kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel dari Indonesia.
Indonesia menilai kebijakan tersebut berdampak pada citra ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar Uni Eropa. Di sisi lain, citra produk kelapa sawit dapat memburuk di perdagangan global.
"Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada Uni Eropa sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan," kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto seperti dikutip dari siaran pers, Senin (16/12/2019).
Hingga berita ini diturunkan, Indonesia masih menunggu keputusan sidang gugatan diskriminasi produk sawit Indonesia tersebut di WTO.
Produktivitas sawit lebih tinggi
Menurut laporan Kementerian Perindustrian yang bertajuk Tantangan dan Prospek Hilirisasi Sawit Nasional, produktivitas lahan perkebunan kelapa sawit jauh lebih tinggi dibanding perkebunan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Untuk menghasilkan 1 ton minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) hanya dibutuhkan lahan seluas 0,3 hektare (ha).
Sebagai perbandingannya, untuk menghasilkan 1 ton minyak lobak (rapeseed oil) dibutuhkan lahan seluas 1,3 ha. Sedangkan untuk produksi 1 ton minyak bunga matahari (sunflower oil) butuh lahan 1,5 ha, dan untuk 1 ton minyak kedelai (soybean oil) diperlukan lahan hingga 2,2 ha.