Ekspor Bijih Mentah Dilarang, Nilai Ekspor Nikel Meroket 405% Setahun

PT Antam TBK
Olahan nikel.
Penulis: Happy Fajrian
18/10/2022, 15.40 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai ekspor nikel selama sembilan bulan atau kuartal III tahun ini meroket hingga 405,4% menjadi US$ 4,13 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya sekitar US$ 820 juta.

Nilai ekspor nikel mengalami lonjakan yang luar biasa setelah pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak awal 2020. Sebelum larangan ekspor diterapkan, nilai ekspor nikel hanya mencapai US$ 646,7 juta pada 2017, naik menjadi US$ 790,5 pada 2018, dan US$ 813,2 pada 2019, lalu turun menjadi US$ 808,4 pada 2020.

Selama empat tahun tersebut, pertumbuhan nilai ekspor nikel rata-rata per tahun hanya sekitar 7,7%. Seiring diterapkannya larangan ekspor, di dalam negeri terus dibangun pabrik-pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel.

Hasilnya mulai terlihat pada 2021 dengan nilai ekspor yang melonjak hingga 58,89% menjadi US$ 1,28 miliar dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar US$ 808,4 juta. Sedangkan tahun ini, hingga September, nilainya meroket hingga 405,4% menjadi US$ 4,13 miliar.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan bahwa pemerintah akan terus memacu tumbuhnya industri smelter yang terbukti memberikan multiplier effect atau efek pengganda yang luas bagi perekonomian nasional.

Menurutnya, banyak manfaat yang telah didapatkan Indonesia dari implementasi kebijakan hilirisasi, antara lain menghasilkan nilai tambah, memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan pekerjaan, dan memberikan peluang usaha.

“Melalui hilirisasi, Indonesia tidak lagi menjual barang mentah, namun sudah diolah baik itu produk setengah jadi maupun menjadi produk akhir. Enam tahun lalu ekspor kita dari nikel kira-kira hanya US$ 1,1 miliar, sedangkan pada 2021 sudah mencapai US$ 20,9 miliar. Lompatannya hingga 19 kali lipat,” ujar Agus.

Larangan Ekspor Nikel Digugat Uni Eropa di WTO

Adapun kebijakan pemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah memicu gugatan dari Uni Eropa yang dilayangkan melalui Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO pada November 2019.

Dalam gugatannya, UE menilai bahwa Indonesia telah melanggar komitmen anggota WTO untuk memberikan akses seluasnya bagi perdagangan internasional, termasuk di antaranya produk nikel mentah

Indonesia kini sedang menunggu hasil akhir dari proses penyelesaian sengketa dagang yang dilayangkan oleh Uni Eropa dalam sidang WTO terkait larangan ekspor bijih nikel. Gugatan tersebut sedang dalam proses panel sengketa awal dan masih menunggu keputusan final dari WTO.

Sebelumnya Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan telah bertemu dengan Menteri Perdagangan UE untuk membahas gugatan tersebut. Dari pertemuan tersebut, UE sebenarnya tidak memiliki bisnis nikel dan tidak ada unsur kepentingan usaha.

Namun, larangan perdagangan seperti itu memang tidak diperkenankan bagi negara-negara yang bergabung dengan WTO termasuk Indonesia. “Yang paling penting tidak boleh melarang. Melarangnya itu yang jadi problem,” ujarnya beberapa waktu lalu, Minggu (25/9).

Pemerintah juga sedang menyiapkan alternatif lain agar kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia tak terganggu dengan keputusan WTO tersebut. Mendag menegaskan, posisi pemerintah sudah jelas bahwa program hilirisasi menjadi prioritas utama.

“Untuk hilirisasi itu harga mati bagi kita. Untuk menyelamatkan itu masih banyak jalan menuju Roma. Jadi hilirisasi tidak akan terganggu,” ujarnya. Indonesia juga masih memiliki kesempatan untuk melakukan banding apabila dinyatakan kalah dalam gugatan.

Aktivitas Perusahaan Smelter Nikel (ANTARA FOTO/Jojon/aww.)

Produsen Tak Khawatir Indonesia Kalah Gugatan

Sementara itu produsen nikel mengaku tak khawatir putusan WTO akan mengganggu hilirisasi, meskipun Indonesia dinyatakan kalah dan harus membuka keran ekspor.

Bos PT Vale Indonesia, Febriany Eddy, menilai menang-kalahnya Indonesia di forum WTO tidak akan berdampak pada kelanjutan proyek hilirisasi nikel di Indonesia. Hal ini karena ekspor bijih nikel dinilai tak ekonomis lagi.

“Kalau kami lihat, ekspor bijih mentah ke luar negeri untuk diproses di luar negeri, itu biaya transportasinya besar sekali, mungkin tidak berimbang dengan harga bijih sendiri," ujarnya Selasa (13/9).

Adapun nikel terdapat pada bijih nikel tipe saprolit dan limonit yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Febri menilai, saat ini praktik pertambangan nikel kerap kali berdekatan dengan pabrik pengolahan atau smelter nikel.

Lokasi yang berdekatan diharap bisa mempemudah proses pemurnian dan hilirisasi. Hal tersebut dapat dijumpai smleter nikel limonit milik Vale di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

“Harus inheren dan diproses di dekat tambangnya. Di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, pabrik pengolahan dibangun di dekat tambang. Sebenarnya banyak sekali manfaat jika diproses di dalam negeri. Kita bisa menghemat biaya transportasi kalau tidak diekspor ke luar negeri,” ujarnya.

“Hingga 2014, smelter nikel di Indonesia hanya dua. Milik Vale dan Antam. Saat ini smelter sudah banyak sekali,” tambahnya.

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencatat sudah ada 31 smelter yang mengolah bijih nikel menjadi Nickel Pig Iron atau NPI. Selain itu, masih ada 50 smelter yang sedang dalam proses konstruksi dan perencanaan serta pengurusan perizinan.

Sehingga pada 2025 ditargetkan ada 81 smelter nikel yang beroperasi di Indonesia dan membutuhkan pasokan bahan baku sekitar 250 juta ton bijih nikel. Simak databoks berikut: